BRAAAAKKKK. Tiba-tiba saya sudah mencium aspal. Motor terpeleset, saya terjatuh di jalan antara Bajawa dan Soa. Saya terhimpit motor yang tergeletak di jalan. Tidak ada luka serius, namun badan ini terasa lemas sekali. Beruntung ada pengendara motor lain yang lewat dan membantu saya.
“Hati-hati mas, daerah sini memang sering jatuh, angker, banyak sial,” kata pengendara yang membantu saya. Saya masih meringkih kesakitan, sebelum kemudian melihat pasir berserakan di jalan. Ternyata pasir-pasir ini biang keladi kecelakaan saya barusan. Jalur trans Flores yang membentang 700 km dari Labuan Bajo hingga Larantuka memang belum sepenuhnya selesai, seperti lokasi dimana saya terjatuh.
Terpaksa saya batalkan niat mengunjungi wawo muda dan beberapa desa adat. Luka-luka di kaki dan rasa lemas di tubuh memaksa saya untuk beristirahat di penginapan. Namun, sebelum kecelakaan itu, saya sudah mengunjungi beberapa tempat di Bajawa ini.
Desa Tradisional Bena
Impresi pertama saya pada Bena mengingatkan saya pada desa-desa di serial game Final Fantasy. Desa ini terletak di punggungan sebuah bukit, tepat di kaki gunung Inerie, yang membuat penatapan Desa ini sangat memikat.
Rumah-rumah terbuat dari alang-alang, seperti di Desa Compang Ruteng, berjejer rapih mengikuti bukit. Di tengah nya terdapat banyak batu, yang tidak lain adalah kuburan para leluhur. Coba bayangkan machu-pichu di peru, saya pikir memang Bena sedikit mirip konturnya dengan reruntuhan bangsa Inca tersebut.
Untuk memasuki bena tidak ada karcis masuk, hanya mengisi buku tamu dan donasi seikhlasnya untuk Desa. Saat melihat buku tamu, saya tidak melihat banyak wisatawan lokal disana. Yang ada kebanyakan dari Jerman ataupun Belanda. Sepertinya memang kebanyakan bangsa kita ini lebih senang berkunjung ke mall hehe.
“Selamat siang Bapak,” saya menyapa segerombolan Bapak-bapak yang nampaknya sedang beristirahat.
“Ohhh. Siang, siang. Mari silakan duduk. Heeyyy tolong itu kopi buat si mas ini,” kata bapak tersebut ramah. Dan saya pun duduk, ditemani kopi Flores yang baunya sangat menusuk ini. Saya memang kurang suka dengan kopi, tapi apa daya saya tidak enak kalau menolak.
Kemudian datang segerombolan pemuda dan anak-anak, mereka membawa berbagai macam alat perkusi. Kemudian mereka membentuk lingkaran di depan sebuah kerangka rumah dari bambu, dan mulai memainkan perkusi-perkusi tersebut dengan sangat keras.
“Kami sedang membangun rumah, mas. Itu upacara adat agar nanti pembangunan rumahnya lancar,” jelas Vinsen, bapak yang memberi saya kopi tadi.
Rumah di Bena memang unik. Kerangkanya dari Bambu, beratap alang-alang, dan tidak menggunakan paku sama sekali untuk menghubungkannya. Semuanya diikat dengan ijuk yang dibentuk tali. Semuanya dari alam. Ini kearifan lokal yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat bena.
Mereka juga tidak mengeksploitasi alam, kontur bukit tempat mereka tinggal dibiarkan begitu saja, berbentuk seperti perahu. Melambangkan semangat kerja sama, kerja keras, dan gotong royong. Seperti yang dicontohkan nenek moyang mereka, juga seperti yang saya lihat ketika mereka bahu membahu memangun rumah kerabatnya.
Saya melanjutkan berkeliling Desa. Nampak banyak sekali batu-batu kubur disini, diapit oleh simbol-simbol suku yang berbentuk Gazebo kecil yaitu bhaga dan ngadhu.
Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil. Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk, hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.
Kemudian saya melihat seorang keluarga yang sedang berkumpul di teras rumahnya. Seorang kakek nampak menghisap rokok yang ‘dilinting’ menggunakan kulit jagung diisi tembakau. “Ayo mas silakan duduk,” seorang ibu mempersilakan saya sambil tersenyum. Warga sini memang sangat ramah dengan pengunjung.
Tak lama kemudian ia menawarkan kopi, dengan berat hati saya menolak karena sudah meneguk segelas tadi. Tetapi sang ibu tersenyum kemudian berkata, “Disana ya disana, disini ya disini, beda. Ini sudah dibuat kopinya.” Saya pun terpaksa meminum gelas kedua kopi Flores ini! “Hah! nampaknya saya tidak akan bisa tidur malam ini,” gumam saya dalam hati.
Setelah puas berkeliling Bena, saya pun menuju Soa untuk menikmati air panas alami. Airnya sangat bening hingga bebatuan berwarna hijau terlihat jelas. Nampak Tidak ada seorangpun disini, kecuali satu keluarga bule. Maka jadilah air panas ini menjadi hot spring pribadi haha! Setelah itu cerita berakhir dengan saya yang mencium aspal…
Masih banyak desa-desa yang sangat menarik di Bajawa, sayang saya tidak sempat mengunjunginya. Oh, iya, untuk kota Bajawa-nya sendiri sangat dingin! Lebih dingin daripada kota Ruteng, kota yang saja jelajahi sebelumnya.
Namun, bajawa terlihat lebih berantakan daripada Ruteng. Terlepas dari itu, kota di kaki gunung Inerie ini memang sangat menarik. Sore menjelang, gunung Inerie makin menghilang tertutup awan, kabut pun turun semakin rendah.
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')