
Dari jauh, Arborek sudah memikat. Pulau hijau kecil yang melayang di tengah birunya samudera nampak seperti dunia fantasi.
“Selamat datang di desa wisata Arborek,” begitu tulisan di atas gerbang pintu desa ini menyambut saya. Desa wisata, adalah sebuah predikat yang diberikan pemerintah daerah untuk sebuah desa percontohan.
Arborek adalah sebuah desa yang saya rasa pantas untuk itu. Tak hanya pasir putih halus dan rimbunnya pohoh kelapa hijau menghiasi pulau kecil ini, keramahan penduduknya pun akan membuat kita nyaman.
Kampung ini tertata rapi, tak nampak sampah-sampah plastik yang berceceran. Hanya ada beberapa daun gugur, yang akan selalu dibersihkan oleh warganya.
“Setiap selasa dan jumat kami bergotong royong membersihkan Desa,” kata seorang warga yang saya temui.
Luar biasa, bukan?

Dulu, waktu awal tahun 90’an, di perumahan tempat saya tinggal masih sering ditemui kerja bakti seperti ini. Namun, saat ini nampaknya kami lebih nyaman untuk membayar uang kebersihan saja.
….
Untuk urusan bawah laut, sepertinya di Raja Ampat sudah tak perlu diragukan lagi.
Namun di Arborek sini, tak perlu heran, spot diving tak perlu jauh-jauh naik kapal ke tengah laut. Tinggal melompat dari ujung dermaga, warna-warni karang dan schooling fish sudah akan menyambut.
Tak heran, karena predikat kampung wisata juga diberikan karena kemampuan konservasi warga terhadap lingkungannya, atas maupun bawah laut.

“Dulu di dermaga banyak anak-anak yang pancing ikan. Sejak jadi desa wisata, tidak ada lagi yang pancing karena banyak ikan endemik. Lagipula di dermaga ini spot diving-nya bagus,” kata Marcell, salah satu warga di Desa wisata yang lain, Desa Yenbuba.
Saya mencoba memastikan hal tersebut. Saya berkeliling dan bertanya kepada anak-anak Desa Yenbuba. Dan, mereka semua juga mengatakan hal yang serupa dengan pak Marcell.
“Tak boleh tangkap ikan disini om. Kalau mau tangkap ikan harus agak ke tengah,” kata salah satu anak.

Jika sejak kecil mereka sudah paham konservasi seperti ini, saya berharap waktu mereka besar nanti pun mereka akan tetap menjaga kelestarian raja ampat
Di desa-desa ini, baru kali ini saya melihat soft coral yang menempel pada tiang-tiang penyangga dermaga. Kalau di dermaga muara angke kita bisa lihat apa ya? Hehe.
Ikan-ikan disini juga luar biasa besar dan banyak. Ada sebuah cerita yang menggambarkan kekayaan laut raja ampat:
Di sini, para nelayan akan memasak nasi terlebih dahulu sebelum pergi mencari ikan. Dan, sesaat setelah nasi telah masak, ikan pun sudah siap tersaji. Bahkan, seringkali nasi belum masak ketika ikan sudah siap.

Sementara para lelaki memancing, di Arborek, para wanita sibuk membuat kerajinan tangan yang dijual ke wisatawan, dibuat menggunakan pelepah sagu. Mereka membuat kerajinan topi yang berbentuk dua hewan khas raja ampat : manta dan cendrawasih.
….
Ketika saya mendaki hutan di sebuah desa wisata yang lain, Sawingrai, tempat salah satu satwa endemik papua, Cendrawasih Merah, seorang pemandu kami bercerita bahwa ia dulu adalah seorang illegal logger.
Pak Yesaya namanya, lebih dikenal dengan sebutan pak Mayor, mengaku telah meninggalkan pekerjaannya dan saat ini fokus mengelola wisata di kampungnya di pulau Gam ini.
“Saya pernah tampil di acara televisi waktu meliput cendrawasih,” katanya bangga.

Sawingrai sudah lebih tertata dibanding kunjungan saya tahun lalu. Bahkan, saat ini sudah terdapat homestay pinggir laut, yang berbentuk rumah panggung yang menancap langsung ke air. Menurut saya tak kalah dengan resort-resort di sekitarnya.
Pak Mayor yang telah ‘bertaubat’ juga telah mengajak warga desanya, walapun memang sulit, untuk selalu bertindak konservatif menjaga lingkungan. Sehingga para burung-burung dari surga itu tak perlu khawatir kehilangan tempat tinggalnya
…
Sebuah kelapa hijau segar menemani saya duduk di bawah pohon besar, di depan sebuah gereja yang tepat di pesisir pantai. Tak lama, sebuah perahu kecil merapat di pantai dan mengeluarkan beberapa ekor ikan kerapu merah.

Pemandu kami, om Saka, langsung menghampiri nelayan tersebut. Ia membeli ikan tersebut untuk kami, dengan harga hanya 100 ribu rupiah!
Padahal, setahu saya harga segitu di supermarket mungkin hanya untuk satu kilo. Tapi disini, kerapu merah segar yang mungkin hampir lima kilogram ini kami beli dengan harga semurah itu.
Setelah menerima selembar merah dari kami, bapak nelayan tersebut pun bersiap melaut lagi.
“Dimana bapak bisa dapat ikan-ikan begini,” tanya saya.
“Tak jauh dari sini. Hanya di seberang sana,” jawab bapak nelayan tersebut.
……
…










Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')