Jejak Sang Naga di Buitenzorg

13

WN288060Melihat Bogor yang tak lagi sejuk, semrawut sana-sini dengan angkotnya, saya sama sekali tak percaya dahulu kota ini pada zaman kolonial pernah menjadi primadona para pelancong Eropa!

Sebut saja Scidmore, pelancong asal Inggris yang ditulis di dalam Buitenzorg : Kota terindah di Jawa —  sebuah catatan perjalanan tahun 1860-1930 yang ditulis Ahmad Baehaqie — menyebutkan Bogor seperti ini, “Deep down below us lay a valley of eden.”

Eden for angkot maksudnya? Hehe.

Namun, walaupun kota di kaki gunung salak ini saat ini sulit nampak seperti yang dipaparkan Scidmore, masih ada kepingan cerita lain yang bisa kita saksikan sisa-sisanya. Lembah ini menjadi salah satu saksi jejak kehidupan beragam bangsa dan suku. Eropa, Sunda, Jawa, Arab, dan termasuk jejak sang naga :  Tionghoa

***

Pagi itu matahari tak nampak, hari imlek, hari yang diharapkan hujan oleh masyarakat Tionghua menjadi kenyataan. Rencananya, kami akan tour mengelilingi sisa-sia era Buitenzorg yang masih membekas di sekitar Bogor ini. Kami memilih berjalan kaki, karena jarak yang ditempuh tak terlalu jauh. Rencananya kami juga akan melewati gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati dengan melangkah.

Lagipula, kami tak mau terjebak kemacetan dan kesemrawutan yang bikin sakit jiwa itu.

Vihara Dhanagun di Jalan Surya Kencana
Vihara Dhanagun di Jalan Surya Kencana

Sepanjang jalan Ir. H Juanda Bogor, kita bisa lihat bangunan bernuansa kolonial seperti Museum Zoologi, Hoofdkantoor van Het Boswezen te Buitenzorg (sekarang kantor Departemen kehutanan) yang dibangun tahun 1912, dan beberapa gedung tua lainnya.

Nafas sang naga baru terasa ketika saya memasuki Jalan Surya Kencana yang berseberangan dengan pintu gerbang masuk Kebun Raya. Di jalan ini kami menemui beberapa lokasi bersejarah seperti Vihara Hok Tek Bio atau dikenal dengan Vihara Dhanagun. Lokasinya yang berdekatan dengan pasar memang dipengaruhi oleh etnis Tiong hua yang gemar berdagang.

Dari papan nama yang terletak di depan Vihara, Hok Tek Bio berarti berlimpah rejeki dan kebajikan. Sedangkan Dhanagun berarti sifat beramal dan sifat kebajikan.

Lilin-lilin raksasa imlek yang melambangkan harapan dan petunjuk
Lilin-lilin raksasa imlek yang melambangkan harapan dan petunjuk

Menurut guide kami, sebetulnya Vihara dan Klenteng adalah tempat yang berbeda. Vihara, seperti yang banyak diketahui orang adalah tempat ibadah pemeluk Buddha. Sedangkan Klenteng, atau Bio, adalah tempat peribadatan orang Tionghoa yang menyembah dewa-dewa China.

Sejak dahulu, kepercayaan orang Tionghoa dipengaruhi oleh tiga ajaran; Khonghucu, Tao, dan Buddha. Namun, kita tahu sendiri bahwa saat zaman orde baru, ajaran yang berbau Tionghua tak boleh bergerak bebas. Maka, hanya ajaran Budha  —  ajaran dari negeri India —  yang diakui pemerintah.

Di dalam Vihara Dhanagun
Di dalam Vihara Dhanagun

Sejak saat itu pula, klenteng mengganti namanya menjadi Vihara supaya mereka tetap dapat beribadat.

Yang unik, di kelenteng ini saya menemukan lukisan pahat dari legenda ‘kera sakti’. Waktu kecil, saya ingat sekali serial kera sakti ini menemani seorang biksu mengambil kitab suci ke barat. Ternyata Sun Go kong ini adalah salah satu tokoh dalam ajaran Taoisme.

Setelah puas melihat-lihat berbagai ornamen imlek di vihara, seperti lilin-lilin selebar tiang telepon di jalanan, saya beranjak keluar; karena takut juga menggangu saat-saat mereka beribadat. Sesaat kemudian kami sampai di pasar Bogor. Disini banyak deretan rumah toko yang berornamen kayu dan kaca patri. Usianya jelas sudah lebih dari seratus tahun. Sayangnnya nampak tak terawat.

Hujan kian deras. Kami melanjutkan perjalanan melewati pasar-pasar becek, dan akhirnya sampai pada bagian belakang pasar. Disana, terdapat bekas bangunan Kapitan Tionghoa dan Hotel Passar Baroe yang terlihat menyedihkan. Mereka tertutup semak; becek; banyak coretan vandalisme; kandang ternak; disebelahnya tempat pembuangan sampah; genangan berbau amis, anyir, plus aroma sapi, ayam, dan ikan yang bercampur aduk di depan bangunan bersejarah ini.

Beruntung tidak dihancurkan, sih.

Hotel Pasar Baroe (kiri) dan Rumah Letnan Cina (kanan)
Hotel Pasar Baroe (kiri) dan Rumah Letnan Cina (kanan)

“Dulu, dari balik kaca di lantai dua hotel ini kita bisa saksikan gunung Salak, Gede, dan Pangrango yang berdampingan,” kata pemandu kami. Namun, sepertinya itu tak lagi bisa dilakukan lagi. Karena hotel ini sudah rapuh dan kumuh; berdiri di belakang pasar dekat tempat sampah; pun sudah terhalang gedung-gedung baru yang tinggi.

Niat menikmati nostalgia ala turis Eropa di Buitenzorg ini harus saya urungkan.

……

Pan Kho Bio di Pulo Geulis
Pan Kho Bio di Pulo Geulis

Saya masih terus berjalan, menjauh ke timur dari pasar Bogor, menuju Babakan pasar. Setelah melewati jembatan yang menghubungkan kota Bogor dan sebuah pulau, sampailah saya di Pulo Geulis.

Ya, sebuah pulau.

Pulau yang dibentuk oleh delta ciliwung ini ternyata juga menyimpan sebuah situs bersejarah : Vihara Maharahma (Pan Kho Bio), yang dibangun pada tahun 1619. Sudah tua sekali! Ini adalah tempat ibadah tertua komunitas Tionghua Bogor.

Dalam vihara ini agak gado-gado. Ada arca Hindu, patung Kwang Im, batu petilasan Prabu Surya Kencana, beberapa arca hindu, dan Musholla….

Pan Kho Bio, ada tempat sholat di dalam Vihara, bahkan jadi tempat pengajian.
Pan Kho Bio, ada tempat sholat di dalam Vihara, bahkan jadi tempat pengajian.

Menurut si penjaga kelenteng, Vihara ini tak hanya tempat ibadat umat Buddha, Konghucu, dan Tao. Tempat ini juga biasa dikunjungi peziarah Sunda Wiwitan, Hindu, dan Islam. Usianya yang panjang memungkinkan bangunan ini untuk menyimpan banyak kisah.

Katanya juga, terkadang pengajian umat muslim dilakukan disini. Karena memang aulanya cukup luas untuk sebuah pertemuan yang menampung banyak orang.

Bat petilasan Prabu Siliwangi
Bat petilasan Prabu Siliwangi

Ada salah satu jenis silat yang mirip seperti kungfu yang berkembang dari Bogor, yaitu Persatuan Gerak Badan Bangau Putih (PDB Bangau putih). Kami mampir sebentar disana.

Yang menarik di PDB Bangau Putih, ternyata mereka lebih populer di luar negeri daripada di negeri sendiri. Beberapa murid asal Kanada nampak sedang belajar disana. “Jangan-jangan nanti kita kalau mau belajar silat Bangau putih harus ke luar negeri sana,” kata salah satu guru disana sambil tertawa.

Beberapa barongsai terdapat di ruang latihan bangau putih. Karena mereka juga sering menampilkan seni barongsai saat acara-acara besar seperti imlek dan cap go meh. Namun, ada satu barongsai yang berbeda: Kie Lin namanya. Ia memiliki sepasang tanduk bercabang seperti rusa, bersisik seperti ikan, dan matanya seperti mata kepiting. Kie Lin dikenal  sebagai tunggangan dewa. ”Kie Lin hanya ada satu ini di Indonesia,” katanya lagi.

Kie Lien dengan salah seorang guru bangau putih
Kie Lien dengan salah seorang guru bangau putih

Setelah puas mendengar cerita bangau puih, kami pun beranjak ke perhentian terakhir, Vihara Dharmakaya, klenteng yang lebih mirip sebuah kastil  karena terdapat menara yang berarsitektur Eropa. Sayang kami tak diperbolehkan masuk oleh penjaga kelenteng.

Dilihat dari jejaknya, tak heran jika sepanjang Jalan Suryakencana hingga Jalan Siliwangi Bogor banyak bermukim etnis Tionghoa. Mungkin karena orang China yang beremigrasi ke Indonesia banyak yang bermata pencaharian sebagai pedagang, maka keberadaan mereka berawal dari adanya pasar. Lalu  setelah banyak yang bermukim di sekitar pasar dibangunlah tempat peribadatan, sehingga banyak di antara mereka hidup tidak jauh dari kedua tempat tersebut dan menjadi pecinan hingga saat ini.

Sekali-kali menjadi turis dan belajar sejarah di kota sendiri ternyata menyenangkan.

Vihara Dharmakarya yang berarsitektur Eropa
Vihara Dharmakarya yang berarsitektur Eropa

Kamu punya foto-foto suasana imlek? Yuk ikutan lomba foto Pesona Indonesia bertema Wonderful Imlek dan menangkan hadiah tiket pesawat gratis dan berbagai hadiah lainnya! 

13 COMMENTS

  1. Loh, baru tahu saya kalau Sun Go Kong itu tokoh di ajaran Taoisme. Saya kira tokoh fiksi. Unik, ya, ada vihara yang bisa macem2 ibadah gitu. Trima kasih infonya, bermanfaat sekali :)

  2. bogor emang agak semrawut sih, tapi karena cuma satu jam naik kereta dari kost, jadi sering disambangi deh sekarang :D *paling demen, main ke kebun raya, terus duduk sampe bosen sambil baca buku*

  3. itu sebenarnya klenteng, bukan wihara
    soalnya zaman dulu kong hu cu sama tao gak boleh ada di indonesia, jadinya mereka bersembunyi di balik topeng buddha.
    sekarang kong hu cu udah diakui sebagai agama, dan mungkin di masa depan akan diakui pula agama tao

Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')