Sepucuk Surat Untuk Wallace

12

Tulisan ini diikutkan dalam telah memenangkan Jailolo, I’m Coming!” Blog Contest yang diselenggarakan oleh Festival Teluk Jailolo dan Wego Indonesia

cab7_malay-wholeWallace, masihkah kau ingat tentang persinggahan pertamamu di Jailolo 1858 silam?

Pada buku The Malay Archipelago yang kau tulis, kau menggambarkannya sebagai semenanjung firdaus dengan bermacam bird of paradise di hutannya yang perawan.

Tak lupa pula pantainya kau lukiskan dengan sangat puitis – a pure white, shoulders of azure blue, and belly of vivid crimson.

Wallace, kudengar nenek moyang bangsaku adalah seorang pelaut? Apakah kau berteman baik dengan mereka?

Sungguh aku kagum padamu, dengan kapal layar seadanya, kau mengarungi seluruh nusantara demi sebuah dedikasi.

Kau tak seperti si jenius militer Portugis Alfonso D’albuquerque yang hanya melihat maluku sebagai “golden spices island”, lalu mulai merampok serta mendirikan koloni.

Membuka karya klasikmu yang berisi catatan perjalanan selama delapan tahun meneliti flora & fauna nusantara, aku hanya bisa merinding.

Kau adalah naturalist dan traveler sejati.

Namun, apakah kau tahu? Aku sama sekali tak paham. Bagaimana bumbu-bumbu dapur itu bisa menimbulkan persengketaan dan peperangan?

Tak bisa kubayangkan bagaimana benda yang banyak berserakan di dapur rumahku, yang seolah tak penting saat ini, bisa membentuk peta politik dan mengubah garis batas negara.

Aku pikir, bumbu dapur ini sama sekali tak merefleksikan hal heroik ataupun magis yang patut direbutkan. Tapi, itu hanyalah pemikiran dangkal seorang bocah yang cuma bisa berlayar di dunia maya.

Colombus, pada tahun 1503, sampai mengatakan daerah Hindia adalah daerah terkaya di dunia, hanya karena bumbu dapur tersebut.

Bahkan, Belanda rela menukar pulau Manhattan (New York!) dengan pulau Run, pulau kecil penghasil pala di Maluku milik Inggris!

Wallace, maukah kau membantuku?

Mungkin, dengan menelusuri sejarah rempah ini, aku bisa menemukan pencerahan. Dengan kembali menelusuri masa silam dan mempelajari bagaimana kehidupan berputar pada masa lalu, aku mungkin bisa lebih mengenal diriku dan bangsaku sendiri lebih dekat.

Oh iya, saat ini di bangsaku sedang gegap gempita menyambut Festival Teluk Jailolo. Aku berfikir, kegundahanku akan sedikit terobati jika bisa mengunjunginya. Mendokumentasikan hikayat “the goldes spices” cukup menjadi alasan bagiku untuk pergi kesana.

Ah, mungkin kau tak tertarik dengan pariwisata. Kau pejalan sejati yang sudah menorehkan jejakmu dengan sempurna. Tapi, lebih banyak yang mengenal jailolo mungkin akan lebih baik, bukan?

Sekarang harga rempah-rempah tak sedahsyat dahulu. Sedikit banyak, pariwisata pasti akan membantu perekonomian rakyat Jailolo.

Jika saja Jailolo bisa merangkul para travel blogger nasional dan internasional, membawa Jailolo ke mata dunia bukanlah perkara sulit. Orang jauh lebih percaya pengalaman para blogger, daripada situs resmi yang seringkali hanya seperti brosur.

Kau tahu, Wallace? Rempah memang dimana-mana, tapi kuliner khas rempah nusantara di Jailolo jelas tak akan mampu ditandingi!

Siapa yang tak ingin mencicipi nasi jaha yang dibakar dalam celah bambu? Ikan dabu-dabu manta bakar dengan irisan tomat dan bawang segar? Atau papeda kuah kuning dengan aroma rempah yang kuat? Kau sudah mencobanya? Slurrrrrp!

Maaf Wallace, aku jadi melantur.

Inilah sepotong suratku tentang kekagumanku pada dedikasimu, semoga saja aku bisa merasakan napak tilasmu di Jailolo sana dan berharap menemukan serpihan “The Treasure of Golden Spice Islands.

Sahabatmu,

 

Wira Nurmansyah.

12 COMMENTS

Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')