Fiol Bevek bersepeda dua hari untuk mencapai Indonesia.
Ia menggunakan sepeda ontel tua dengan batang berkarat dan rantai yang kering tanpa pelumas. Fiol menggunakan sepatu boot yang dengan bercak lumpur hingga celananya. Perjalanan dari kampungnya di Papua Nugini membelah hutan hingga Sota, Merauke ini nampaknya tak mudah.
Fiol membawa dua dus mie instan rasa ayam bawang. Tak hanya mie, kardus itu juga berisi beras, gula, dan beberapa selongsong kembang api untuk anaknya.
“It’s much cheaper here,” katanya.
Harga barang di Sota memang jauh lebih murah daripada di Papua Nugini. Meski dibandingkan dengan harga di Jawa masih jauh lebih mahal.
Dua kardus itu ia kaitkan di bagian belakang sepedanya. Mereka bersiap untuk pulang.
“ Is it a hard life?” seorang kawan saya bertanya kepada orang yang sedang membetulkan rantai sepedanya yang copot.
“ Yes it is”. Dia menjawab sambil tersenyum menunjukkan giginya yang kekuningan. “ But this is life.” ujarnya
Melintas perbatasan tak sulit. Tak ada pagar atau gerbang yang harus dilewati. Mereka hanya melapor pada tentara, kemudian pergi ke pasar yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari perbatasan.
***
Dari Merauke, saya menumpang mobil double cabin yang punya kemampuan offroad milik tentara perbatasan. Jalan sempit namun mulus. Mobil melaju tak kurang dari 100 km/jam sepanjang satu setengah jam perjalanan melewati Taman Nasional Wasur.
Sepanjang perjalanan, hampir tak ada yang berpapasan dengan mobil kami hingga sampai di Sota. Saya disambut dengan senyum seorang Polisi yang berjaga disini.
Pak Ma’ruf, polisi yang menyambut kami ini sudah bertugas di pebatasan Sota sejak tahun 1993. Ia adalah salah satu orang yang menggerakan masyarakat sekitar untuk merubah semak belukar di perbatasan menjadi sebuah taman. Rumahnya tak jauh dari sana, tepat di depan markas batalion 142. Ia juga menjual oleh-oleh khas perbatasan sini.
Setelah berbincang dan meminta izin ke tentara, saya berjalan kaki menuju Taman Sota. Disanalah saya bertemu Fiol Bevek dan kawan-kawannya yang sedang beristirahat.
Kontras dengan perbatasan di Jayapura yang ramai cukup ketat, perbatasan di Merauke hampir tak ada penjagaan. Hanya ada sebuah monumen kecil yang jadi pertanda garis batas antara Indonesia dan Papua Nugini. Saya bahkan bisa berdiri di dua negara sekaligus.
Yang unik di Sota ini adalah banyak sekali terdapat Masamus, sarang semut (atau rayap?) yang tingginya bisa melebihi langit-langit rumah. Warnanya coklat dengan tekstur seperti batu kapur. Saya kira dia bakal rapuh kalau dipegang, namun ternyata sangat kokoh seperti batu kali. Saya tak melihat semut yang melintas. Tapi, melihat ukuran sarangnya yang sebesar ini, niat saya untuk memancing semut ini keluar saya urungkan. Entah kenapa mereka tak keluar dengan sendirinya, padahal kan, saya sudah semanis ini? *abaikan*
Menjaga perbatasan tak mudah. Apalagi untuk melawan kebosanan. Sinyal seluler hanya cukup untuk sms dan telepon seadanya. Banyak tentara yang belum pulang berbulan-bulan.
Fiol dan kawan-kawannya mulai bergerak menjauhi perbatasan Sota. Pulang kembali ke kampungnya yang berjarak dua hari dan membawa dus-dus mie instan. Mereka melambaikan tangannya sambil tertawa bahagia ke saya. Fiol dan kawan-kawannya tak nampak seperti seorang ayah yang tengah berjuang untuk keluarganya, melainkan seperti seperti saya waktu kecil yang bermain sepeda sambil mencari ikan di kali komplek sebelah.
Saya sendiri membayangkan jika menaiki sepeda tanpa membawa beban saja rasanya sudah lutut ini seakan-akan protes. Di sini saya bias melihat bagaimana keseharian para orang-orang di Timur benar-benar berjuang.
Wira, aku pun mau menjelajah Indonesia ke tempat yang seperti ini. Ke tempat di mana kehidupan orang-orangnya jauh berbeda dengan kita yang di kota. Kapan ya Wir aku sehits kamu. Ajarin motret dong! #tetep
yokkk mba kapannnn? Eh gua jual lensa olympus nih mau gak? Baru ganti pacar nih wkwkwk.
Duh ini punya lensa 2 juga makenya aja belum bisaaa. Hahaha… Jadi lo bukan #TeamOlympus lagiih?
Gue sekrang #GoFujifilm #TerFujilah #TeamFujifilm :)))
tulisan yang sangat manis kak Wira, semanis yang barusan baca :D
Makasih kak Defi aku emang manis #ehgimana
Banyak sarang semut disana? Pantes temanku yg kerja di Papua, tiap pulang ke Jawa slalu bawain aku oleh2 sarang semut :'(
Kalau di merauke memang banyak kak, bahkan di bandaranya ada patung sarang semut raksasa.
sarang semutnya bisa diapain yah? jadi makanan kali?
Jadi ingin travelling seperti Kak Wira ke perbatasan, wisata anti mainstream judulnya. kalau menyimak cerita kak Wira kali ini kita pasti akan mensyukuri nikmat Tuhan. Ditunggu cerita kecenya ya Kak wira maniez :)
Kamu ngapain sampai perbatasan situ :|
wajib militer?
Iseng jalan-jalan aja kak hihi.
Wah asik bisa main ke perbatasan, jadi inget baca-baca ceritanya mas Agustinus tentang kehidupan perbatasan di Paupa Nugini, hehe..
Saya jadi ingat tulisan salah satu artikel Agustinus Wibowo di blognya, tentang mengapa harus ada tapal batas yang membatasi dan memberikan perbedaan begitu jauh, sementara di balik setiap perbatasan ada kemudahan yang lebih dibutuhkan oleh masing-masing dari mereka :)
Ah iya, kayaknya mas Agus lagi buat buku tentang PNG ya.
ih kak photonya cakep
Tulisanmu bikin madredeg :(
lihat ini tulisan jadi pengen kesana, hehehe
wow, keren banget tuh foto, dengan panorama yang aslinya terutama hehehe
Tempatnya bagus kalau dijadikan wisata alam
Waaah sarang semut.. itu obat banyak penyakit :).. dulu pas papa msih kerja di papua, dia selalu bawa sarang semut utk dijadiin obat.. cukup direbus, lalu airnya diminum.. rasanya kyk teh tawar aja.. :)
ngeliat para tentara yg bekerja di perbatasan gini, kadang kasian.. jauh dari mana, sinyal ya begitu itu, gaji mungkin ga seberapa.. But like Fiol said, It’s life :)
Kereeeeeeeeeen :3 aku baru pertama kali mampir kayaknya :D
Sukaaak :D
Pak Fiol itu setrong banget sih, suwer ._.
Eh, aku kok kagum sama Musamunya ya ._. bisa gedeeee begitu ._.
“ Yes it is”. Dia menjawab sambil tersenyum menunjukkan giginya yang kekuningan. “ But this is life.” ujarnya >>> ini kalimat yang paling aku sukai ketika ketemu orang2 dalam sebuah perjalanan kak.. dari mereka, kita bisa mengerti betapa beruntungnya kita yang masih bisa jalan2 keliling negeri :D
#efekPuasa
salut sama orang2 yg tugasnya di perbatasan. jauh dari keluarga, menjaga keutuhan NKRI.
Wah. selama ke papua blm pernah motret sarang semut sebesar itu mas
Sedih banget bacanya :(((
Gak kebayang, buat beli mie dan bahan-bahan pokok yang lebih murah aja mereka sampai belanjanya berhari-hari ,,, kalah deh ibu-ibu di sini yang pindah ke warung lain karena harga beda 500 rupiah :-D
Btw itu bukan sarang semut yang ramai dijadikan obat itu khan Wir?
Wah, kurang tahu kalo sarang semut yang jadi obat itu deh..
Ah saya telat mengikuti anda mas wira. Dari sampean saya bisa melihat keindahan Indonesia yang belum saya lihat sebelumnya, ternyata Indonesia jauhhh lebih bagus yaa mas, hem salam kenal
dari cerita tersebut dapat menginspirasi para anak-anak muda, dari sekian banyak kata yang dituliskannya, dan semoga ku bisa mengelilingi indonesia mulai dari yg plosok sampai ke kota-kota.
dari sekian cerita yang saya baca di atas tadi sangat menginspirasi bagi kaum muda,tidaK seperti ku bayangkan, perjalanan yg begitu jauhnya dia memakai sepeda dan banyak hal-hal ia lakukan. dengan begitu sabar keteguhan hatinya. itu semua untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pembangunan di perbatasan tidak dilakukan oleh seorang saja tapi semua components yg bertugas si perbatasan. Bedanya components yg lain tulus Tanpa pamrih popularitas. Dlm sisi lain ada orang yg memanfaatkan utk nama besar pribadi nya seolah2 dia sendiri yg berjuang. Masyarakat Sota lebih tahu itu…..Salam ikhlas.
Thanks