Mereka menyebut dirinya orang laut. Lahir dan hidup semua bergantung dari lautan. Mereka tak punya daerah teritorial seperti suku lainnya. Seluruh pesisir Wakatobi – bahkan nusantara, adalah rumah mereka. Mereka benar-benar ‘bangsa laut’
KAMI naik sampan kecil bermesin robin untuk menyebrang ke salah satu perkampungan Bajo di Pulau Kaledupa. Laut begitu tenang, langit membiru, di kejauhan terlihat rumah-rumah panggung yang penyangga kayunya menancap ke dasar laut.
Disinilah salah satu hunian masyarakat Bajo. Mereka tak lagi menjadi sea nomadic seperti dahulu. Saat ini, mereka sudah menetap di perkampungan yang tersebar di area Wakatobi.
Di Kaledupa, mereka membangun kampung sendiri di tengah laut. Mendirikan fondasi dari batu karang, dan membuat rumah panggung di atasnya. Beberapa langsung mendirikan tanpa fondasi, langsung di tancapkan ke dasar laut.
Suku bajo adalah orang laut sejati. Sejak lahir mereka sudah hidup dengan laut. Mereka penyelam tradisional ulung. Memanah ikan atau lebih dikenal dengan spearfishing adalah keahlian mereka.
Mereka berburu ikan dengan menyelam bebas. Di dasar laut, mereka berjalan memegang tombak seolah-olah sedang berburu di darat.
“Ada orang kami yang bisa menyelam sampai 25 menit,” kata seorang warga bajo ketika saya berbincang di dermaga.
Entah benar atau tidak, karena rekor free diving dunia dalam static apnea saja hanya 22 menit. Tapi, in suku bajo, bung! Laut adalah bagian dari mereka, jadi mungkin saja itu benar!
Sejatinya, bangsa Indonesia pada zaman dahulu adalah bangsa maritim. Berjaya di lautan. Siapa tak kenal dengan kemampuan maritim suku Bugis mengarungi lautan dengan phinisi-nya? Siapa tak kenal armada laut kerjaan Sriwijaya yang melegenda? Disebut-sebut armada tersebut berisi orang-orang dari suku bajo, sang pengelana laut sejati.
***
Siang itu, kami merapat di dermaga Sampela. Salah satu kampung bajo yang paling tradisional dibandingkan kampung lainnya. Rumah disini masih rumah panggung kayu, tidak seperti kampung bajo lainnya yang beberapa sudah menggunakan beton dan seng sebagai atap.
Saya melihat deretan perkampungan suku bajo ini. Anak-anak bermain sampan, ada pula yang bermain air, dan ada yang bermain futsal di lapangan panggung kayu! Saya juga melihat sekolah dan masjid sudah berdiri di kampung ini. Warga Bajo mayoritas muslim, walaupun masih kental dengan nuansa kepercayaan terhadap arwah leluhur dan sejenisnya.
Matahari timur sore menyinari sampela begitu indah. Saya masih berkeliling kampung ini. Beberapa rumah terlihat sudah memiliki antena satelit untuk menangkap siaran televisi. Namun, suku bajo ini masih terlihat miskin jika dibandingkan dengan orang yang tinggal di pusat kota.
Mengapa bisa demikian?
Padahal, kekayaan alam Wakatobi tidak main-main. Saat saya berada di dekat pasar Wanci di pinggir pantai, terlihat banyak perahu kecil nelayan yang mencari ikan dengan jaring. Dan, ikan yang mereka tangkap sudah memenuhi perahu mereka.
“Saya tadi pasang jaring sekitar setengah jam yang lalu,” ujar nelayan tersebut. Ikan-ikan segar sebanyak itu bisa didapatkan dengan mudah dalam waktu singkat! Mulai dari kerapu, kakap, tongkol, hingga tuna bisa didapat dengan mudah di Wakatobi. Dan, Indonesia memang adalah salah satu penyuplai tuna untuk ekspor dunia.
Wakatobi juga merupakan salah satu daerah yang termasuk segitiga coral dunia. Barisan terumbu karang Wakatobi merupakan terpanjang kedua di dunia setelah Great Barrier Reef di Australia! Dan, yang lebih heboh, 750 dari 850 jenis terumbu karang dunia ada di Wakatobi! Jika pemerintah serius, dari sektor pariwisata bahari saja Wakatobi sudah bisa menjadi destinasi kelas dunia!
Saya sempat menyelam sekali di Wanci dan terpesona dengan terumbu karang cantik dan ikan disini. Kata pemadu diving saya, ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan di Pulau Hoga. Hoga adalah pulau kecil di Kaledupa dimana tempat peneliti kelautan mendirikan basis disini, Operation Wallace.
Sungguh sangat kaya, bukan?
Tapi, kenapa kemiskinan masih disini? Apakah ada yang ‘bermain’ disini sehingga kekayaan tidak merata? Atau ada sebab lain?
Pertanyaan itu selalu timbul ketika mengunjungi Indonesia bagian timur. Bagian yang jarang dijamah, atau mungkin terlupakan oleh orang-orang di Jakarta sana. Dan, sampai saat ini saya belum tahu jawabannya.
Pengetahuan suku bajo tentang laut sangat luas, mereka bahkan tahu jenis ikan dengan hanya melihat dari atas sampan.
“Kami hanya ambil ikan secukupnya, tidak pernah kami gunakan bom atau bahan berbahaya lainnya,” kata seorang nelayan bajo.
Ia mengatakan yang menggunakan cara-cara tidak sehat dalam menangkap ikan biasanya bukan orang bajo. Orang bajo hidup dari laut, mereka tahu cara memperlakukan sumber kehidupan mereka.
Tapi, tetap saja ada praktek-praktek penangkapan ikan ilegal yang menggunakan bom atau potasium yang bisa merusak terumbu karang. Untuk itu organisasi lokal seperti Forkani dan Komunto selalu bekerja sama dengan para nelayan untuk menjaga lokasi Wakatobi.
***
Malam bertabur bintang, kami membakar ikan hasil tangkapan kami bersama Labuka. Seorang master silat bajo yang ikut menyuluh ikan bersama kami. Di bawah taburan bintang dan suara angin laut, ia bernyanyi sebuah lagu Bajo yang sangat menggetarkan hati kami. Walaupun kami tidak tahu apa arti lagu itu.
Saya sangat tekesima dengan kekayaan alam Wakatobi dan berharap suatu saat masyarakat disini bisa sejahtera. Sehingga saya bisa menyelam menikmati taman laut Wakatobi yang cantik jelita ini dengan hati yang lebih tenang.
***
Keputusan pemerintah yang agak ‘memaksa’ suku bajo untuk kembali ke darat agaknya kurang memperhatikan suku bajo. Mereka adalah orang laut, bangsa laut. Lahir, hidup, dan makan dari kekayaan laut. ‘Mendaratkan’ mereka justru akan mempersulit gerak mereka dalam kehidupan.
Mereka terpinggirkan, secara ekonomi memang mereka sulit. Namun, mereka percaya, selama mereka menghormati lautan, maka kekayaan laut akan terus mencukupkannya.
**Thanks my dive buddy om vindhya buat foto underwaternya. Kayaknya saya harus beli kamera underwater juga nih hihi.
And finally Wakatobi in video we made version. Enjoy!
Like usually, kece bang. Gak tulisan, gak foto-foto… Kapan ya gw bisa sekece ini karyanya..
Hatur nuhun kang udah mampir :)
wuihiii…. sayang deh gue cuma bentar di Kampung Sampela ini.. pengen banget liat tuh anak yang maen bola trus nyebur untuk ambil bola jatuhnya :D
Kelamaan berenang sama udah sih lo mba. Jangan-jangan tuh udah pada kalian bakar terus makan gak ngajak2 kita yak?! :lol:
Jauh banget tempat udangnya ternyataaaa trus panas kan… nemu aer adem ya lupa waktu-lah.. untung ga jadi mampir ke Hoga tuh :D
Gambar keren, kawan….jadi tambah giat nabung en tambah ngiler mbayangin kapan berangkat ke Wakatobi :)
*ngepel-iler*
cerita dan foto yang sangat kerenn
thanks!
[…] di kampung bajo Wakatobi saat saya sedang membuat timelapse untuk video Indonesia […]
Kangen nginep di rumah panggung di Kaledupa, makan kasuami, makan ikan bakar, makan kepiting, kangen suana kekeluargaan disana. Semua orang ramah, dan kangen nunggu jam 6 sore pas listrik nyala hehe
Salam kenal, Wira
jadi tergoda buat beli casing kamera ato kamera underwater, trus lanjut keliaran disana e,,,,,,
ho ho ho.. indah nian kak… eh udangnya emang bakarable banget dah.. cuma taunya udang keramat wkwkw, takut kena kutukan makin ganteng kalo makan :)
Kenapa gak dibungkus aja om udangnya, buat gw biar tambah ganteng!
Keren sekali Mas…. salam kenal ya ;)
kinkin suka postingan ini <3
heheh….ayo kang, beli kamera underware. gopro aja :))
go pro kurang puas kang hasil fotonya, videonya sih oke :))
2 posting yang sudah saya baca sangat cukup untuk jadi alasan men-subscribe blog ini. ini masuk list travelblog favourite saya.. saya suka gaya tulisan yang dibold. kesannya woah! ditunggu ceritanya yang lain :D
Terima kasih mba Venny :)
Ambooi… Someday mas, saya bakalan ke sini
ijin meninggalkan jejak, mas.
tulisannya keren, foto-fotonya mantap!
ingin Wakatobi!!! hehe…
Terima kasih mas Cahyo!
hai hai ikutan blogexchange juga ya? hehe salam kenal.. yuk exchange vote yuk :) nih link blog saya tentang bigBlogExchange http://kemalife.wordpress.com/2013/03/12/big-blog-exchange/
dan link untuk vote http://www.bigblogexchange.org/blog/256002
boleh minta nomer kontak orang yg ada di wakatobi jika berkenan? kebetulan saya mau coba ke sana tanggal 12 ini
Halo Tyo, waktu saya kesana lagi bikin video. Jadinya rekan saya yang lain yang urus macem2nya. Coba kontak teman saya om sutiknyo di lostpacker.com (langsung twit aja).
Thanks.
[…] Di Kaledupa, mereka membangun kampung sendiri di tengah laut. Mendirikan fondasi dari batu karang, dan membuat rumah panggung di atasnya. Beberapa langsung mendirikan tanpa fondasi, langsung di tancapkan ke dasar laut, seperti yang dikutip dari wiranurmansyah.com. […]
Hallo mas…boleh tau informasi untuk mengunjungi suku bajo…makasiy
Halo, informasi tentang apanya ya?
Kalo ke Wakatobi bukan cuma pesona alam bawah lautnya aja yg eksotis yaa? ternyata juga punya tradisi dan kehidupan yang luar biasa
keren banget mas wira, walopun saya baca tulisan2nya tiap hari, tapi gak jadi terbiasa.. tetep luar biasa.. apalagi foto2 nya, hihihi selalu ada kalimat kalimat menggelitik yang pengen saya komentari..
“Ia mengatakan yang menggunakan cara-cara tidak sehat dalam menangkap ikan biasanya bukan orang bajo. Orang bajo hidup dari laut, mereka tahu cara memperlakukan sumber kehidupan mereka”
…. klo saya ngebacanya gini “yang menggunakan cara cara tidak sehat untuk mengeksploitasi alam, biasanya bukan orang Indonesia, orang Indonesia hidup dari alam, jadi mereka tau cara memperlakukan sumber kehidupan mereka ” ain’t it true ^_^ ?
Mereka terpinggirkan, secara ekonomi memang mereka sulit. Namun, mereka percaya, selama mereka menghormati lautan, maka kekayaan laut akan terus mencukupkannya.
“Kita terpinggirkan, secara ekonomi kita memang sedang kesulitan, namun, kita harus percaya, selama kita menghormati alam, maka kekayaan alam Indonesia akan terus mencukupkan kita ” isn’t it also true ?
makasih banget buat tulisan tulisan dan foto2 nya mas Wira yang inspirasional buat saya , cheers
[…] Di Kaledupa, mereka membangun kampung sendiri di tengah laut. Mendirikan fondasi dari batu karang, dan membuat rumah panggung di atasnya. Beberapa langsung mendirikan tanpa fondasi, langsung di tancapkan ke dasar laut, seperti yang dikutip dari wiranurmansyah.com. […]
[…] Di Kaledupa, mereka membangun kampung sendiri di tengah laut. Mendirikan fondasi dari batu karang, dan membuat rumah panggung di atasnya. Beberapa langsung mendirikan tanpa fondasi, langsung di tancapkan ke dasar laut, seperti yang dikutip dari wiranurmansyah.com. […]
[…] Di Kaledupa, mereka membangun kampung sendiri di tengah laut. Mendirikan fondasi dari batu karang, dan membuat rumah panggung di atasnya. Beberapa langsung mendirikan tanpa fondasi, langsung di tancapkan ke dasar laut, seperti yang dikutip dari wiranurmansyah.com. […]
[…] Di Kaledupa, mereka membangun kampung sendiri di tengah laut. Mendirikan fondasi dari batu karang, dan membuat rumah panggung di atasnya. Beberapa langsung mendirikan tanpa fondasi, langsung di tancapkan ke dasar laut, seperti yang dikutip dari wiranurmansyah.com. […]