Ditulis ngasal pada Februari 2009, please take with grain of salt, hihi.
Menurut saya fotografi landscape itu adalah jenis fotografi yang paling susah, sekaligus paling mudah. Dibilang mudah karena landscape itu ada di sekitar kita, dapat dilihat dengan mudah. Tapi, ada perbedaan yang sangat signifikan antara fotografi landscape “postcard” dan Fotografi Landscape “Fine Art “. Kebanyakan orang berfikir bahwa fotografi landscape tidak membutuhkan effort yang besar. Arahkan kamera ke pemandangan yang luas, mencoba memasukan seluruh elemen yang dia lihat, tekan shutter, maka jadilah foto landscape yang membosankan; tidak ada perasaan dan emosi dari sang fotografer.
Sedangkan pada fine art landscape, sang fotografer tidak kalap diri. Ia sadar bahwa angin, batu, gunung, pohon, rumput adalah Landscape. Tapi, ia tahu bahwa tugas dia adalah mengisolasi elemen yang paling penting dan mewakili dari seluruh elemen yang ada ( jadi inget pelajaran majas bahasa..apa ya namanya?). Ia memilih elemen – elemen yang memperkuat POI (point of interest) dan tidak memasukan unsur yang memperlemah POI sebagus apapun elemen itu.
Inilah yang banyak menjadi kesalahan para fotografer pemula. Mereka terlalu banyak memasukan elemen yang tidak perlu (tapi mereka pikir itu perlu) dalam foto landscape mereka.
Masalah teknis sebetulnya tidak terlalu penting, tapi tetap harus dikuasai agar pada saat memotret kita tidak terganggu oleh masalah – masalah basic seperti shutter speed, iso, aperture, dan lain sebagainya. Mungkin anda sudah tahu akan hal ini, tapi kita akan lihat pengaplikasinya dalam fotografi landscape.
Sebelumnya, anda juga harus mengetahui tentang exposure, metering,shutter speed, iso, dan aperture. Seperti yang kita ketahui, dalam fotografi landscape, kita tidak bisa mengatur cahaya yang ada; semuanya kehendak alam. Tugas kita adalah mengatur kamera agar apa yang kita lihat bisa kita terjemahkan ke dalam frame kita.
Metering juga harus dikuasai dengan baik. Pelajarilah fungsi masing-masing metering pada kamera, karena setiap kamera mempunyai karakteristik metering yang berbede. Tips : gunakanlah matrix metering karena hasilnya 90 % benar. Paling kita hanya perlu mengkompensasi exposure ke nilai plus(+) jika scene terlalu banyak terang, atau ke nilai (-) jika terlalu banyak bagian gelap.
Tapi ini hanya untuk mendapatkan exposure yang “benar” dan ini terserah dari teman-teman sendiri, apakah ingin dibuat lebih terang atau lebih gelap. Dan berbicara masalah outdoor photography, otomatis kita berada dalam kondisi pemotretan dengan dynamic range yang tinggi.Mata kita mungkin masih bisa menangkapnya karena mata merupakan sensor terhebat yang diciptakan Tuhan.
Sedangkan sensor kamera tidak akan bisa. Ini bisa dikompensansi dengan filter Gradual Neutral Density. Tahukan teman – teman bahwa penggunaan filter justru untuk mendapatkan efek yang natural ? Bukan sebaliknya.
Dalam kamera, banyak sekali mode exposure yang dapat dipilih. Pada dasarnya hanya ada 4 buah. Program, Aperture priority, Shutter priority, Manual. Mode – mode tambahan seperti portrait, landscape, auto, night portrait, dan lain-lain sebaiknya tidak usah dipakai.
Karena mode-mode itu sebenarnya hanyalah pengembangan dari mode PSAM. Tetapi mode-mode tambahan ini terkadang berguna untuk men-switch picture control. Contoh kasus: Anda menggunakan mode exposure manual dan picture control landscape.
Kemudian anda ingin memotret teman di sebelah anda. Jika langsung dipotret, saya jamin warna kulit teman anda akan menjadi berwana sangat dangdut . Maka dari itu , putarlah ke mode portrait dan anda akan medapatkan foto dengan warna yang seharusnya.
Masalah teknis yang juga penting adalah masalah pemilihan focal length. Untuk pemotretan landscape disarankan memakai lensa yang lebar. Tapi tidak mutlak, ingat bahwa dalam foto landscape yang benar adalah kita tidak berusaha memasukan semua elemen yang ada, tetapi memilih beberapa elemen untuk mewakili semuanya.
Lho, kalau begitu untuk apa donk lensa lebar segala ? Lensa lebar bukan digunakan untuk mengambil selebar – lebarnya, lensa lebar justru untuk menimbulkan perspektif antara objek yang dekat dengan objek yang jauh. Akan di bahas di komposisi dalam fotografi landscape.
Lupakan masalah teknis. Langkah awal untuk mendalami fotografi landscape adalah menentukan secara secara tepat karakter dari landscape itu sendiri….mendefinisikan alam sebagai rasa tersendiri, secara subjektif. Ansel adams menyebut ini sebagai ” the personal statement”. Tidak ada aturan dalam hal ini. Bisa saja berupa pemandangan indah di ciwidey, bromo, cikoneng. Atau hanya permainan cahaya dan bayangan, tumpukan daun, gemercik air. Dalam hal ini, landscape bersifat sebagai benda yang statis dan tidak akan berubah dalam waktu beberapa menit. Jadi kita bisa membayangkan seperti apa jadinya foto kita nanti. Karena cara kerja mata dan lensa adalah berbeda..yaitu antara subjektif dan objektif. Ansel menyebut ini ” previsualization”. Membayangkan foto yang akan diambil dan mengantisipasinya bahkan sebelum memegang kamera
Dan karakter paling penting yang harus dipelajari adalah cahaya. Dari mana arah datangnya, seberapa banyak cahaya yang jatuh, bagaimana warna yang muncul..dan lain sebagainya. Proses ini dinamakan previsualisasi, proses dimana kita menentukan perpaduan dari segala elemen yang tesedia.
Ingatlah bahwa foto landscape yang baik adalah foto yang mengambil sebagian untuk mewakili seluruh bagian yang ada. Proses previsualisasi juga dapat dibilang sebagai konversi objektivitas lensa kamera menjadi subjektivitas mata sang fotografer.
Poin yang penting lainnya adalah foto landscape yang bagus tidak harus di tempat yang eksotis. Kita harus peka terhadap keadaan alam sekitar kita.
Sadarlah bahwa tempat manapun menyajikan kesempatan foto yang luar biasa. Tinggal bagaimana kita mengolahnya (bukan di photoshop lho..) dan menyajikannya.
Dimana tempat motret landscape yang bagus?
Justru dengan tempat yang kurang bagus, mata kita dilatih untuk lebih peka. Mulai dari cara kita melihat cahaya, memilih angle, menentukan focal length yang tepat, memilih elemen yang ingin kita masukan, ataupun menyingkirkan elemen yang mungkin menggagu POI tapi tetap bisa mempertahankan POI itu sendiri.
Jika kita sudah terbiasa akan hal ini, motret dimanapun pasti cihuyy, apalagi kalau tempatnya udah keren.
Waduh, ini pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Tetapi sebenernya ini sangat mudah sodara – sodara. Let me state one thing :
Tempat hunting landscape dimanapun bisa bagus, semua tergantung kepada kita masing – masing.
Malah, kalau saran saya sendiri untuk latihan landscape pilihlah tempat yang “biasa aja” supaya kita bisa belajar mencari spot dan menemukan angle yng bagus. Dengan begitu kita akan terlatih dengan sendirinya. Bagaimana menentukan focal length yang sesuai, memilih angle, menentukan komposisi, memilih POI (ini susah lho).
Intinya sih, untuk membuat sebuah foto landscape yang bagus tidak selalu harus ke tempat yang bagus, namun bagaimana kita melatih diri kita agar dapat peka terhadap alam tersebut.
Coba saja lihat tempat-tempat yang mempunyai potensi di sekitar kita. Jangan lupa bahwa untuk membuat foto (apapun) yang bagus adalah kita berada pada waktu dan tempat yang tepat. Seberapa bagusnya tempat yang anda datangi kalau datang pada waktu yang tidak tepat, ya percuma saja.
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')