Hal yang pertama kali terlihat ketika saya pertama kali singgah di Amsterdam adalah : Sepeda. Mereka dimana-mana. Melaju dengan kecepatan tinggi.
Kalau menyebrang, hati-hatilah dengan sepeda ini. Tram dan mobil tak ada yang melaju cepat. Tapi kalau sepeda, mereka sangat cepat dan gerakannya random!
Mungkin tak seburuk sepeda motor di Hanoi maupun Jakarta. Tentu saja, karena sepeda ini bebas polusi dan membuat lemak malu-malu muncul di pinggang.
Di beberapa jalan, jalur sepeda tak berbeda jauh ukurannya dengan jalur mobil yang harus berbagi dengan jalur trem. Tak jarang, terlihat pemandangan para eksekutif muda berjas panjang yang membawa suitcase, makan sandwich di tangan kirinya sambil memacu sepeda dengan kecepatan tinggi. Jangan ditiru, gaes.
Saya bersama Bolang dari Jakarta bertemu dengan kawan kuliah saya Mira yang sedang studi di London. Jauh-jauh datang ke Amsterdam karena mau mengambil kencur dan makanan ringan ber-MSG tinggi yang saya bawa dari Jakarta.
“Buat bikin seblak,” katanya.
Penerbangan 14 jam nonstop dari Jakarta dengan Garuda Indonesia jam 9 malam WIB mendaratkan saya di Amsterdam sekitar jam 11 siang.
Thanks to garuda miles, saya dapat penerbangan ini hampir gratis dengan menukarkan poin. Hampir, karena saya masih bayar tax. But it’s such a good deal!
Kita langsung menuju area Museumplein tempat tulisan “I amsterdam” yang jadi spot favorit turis buat foto-foto. Namun ramai sekali. Berbeda dengan yang saya temui waktu di airport. Jadi kalau yang mau foto banget di tulisan ini, coba mampir ke bagian depan bandara schipol dulu.
Suprisingly, cuaca lumayan dingin mengingat ini sudah pertengahan april. Berkisar antara 7-10 derajat celcius. Cukup membuat darah tropis saya hampir membeku.
Saya sangat suka bangunan di Belanda. Rata-rata berbentuk simestris kiri kanan. Materialnya biasanya bata yang berwarna coklat kemerahan. Dan di sisi atasnya cenderung membentuk segitiga dengan berbagai macam bentuk.
Bangunannya biasanya 4-6 lantai. Jarang saya temui yang hanya 1-2 lantai di tengah kota. Bangunan ini berjejr makanya saya menyebutnya seperti “ruko”.
Amsterdam adalah kota yang berada di bawah permukaan air laut. Mereka bisa bertahan karena “dam” bendungan yang menahan air.
Di tengah kota Amsterdam terdapat banyak kanal-kanal yang sangat nyaman disusuri. Dengan berjalan kaki di pinggirnya ataupun menggunakan tour-tour perahu yang bisa kita ikuti.
Selain rumah-rumah di daratan, ada juga rumah yang mengapung di atas sungai. Awalnya saya pikir cuma untuk restoran saja. Tapi setelah saya konfirmasi ke kawan saya yang tinggal di Amsterdam, ternyata itu juga rumah tempat tinggal!
Saya menginap di Dutchies Hostel di sebelah barat Amsterdam. Saya suka hostel ini karena persis di depannya ada supermarket Lidl dan Masjid Badr. Peralatan dapurnya pun lumayan lengkap walaupun dapurnya cukup sempit. Kamarnya cukup luas waktu 3 hari pertama kami disini. Pada hari terakhir saat kami menginap disini lagi (karena tiket PP Jakarta – Amsterdam) diberi ruangan yang berbeda namun ternyata lebih sempit. Recomended buat yang cari hostel murah dan nyaman di Amsterdam.
Orang-orang di Amsterdam pun sepengelihatan saya cukup friendly. Dua kali saya dihampiri oleh orang disana waktu saya terlihat bingung mencari arah di stasiun tram. Mereka pun dengan detail dan ramah menjelaskannya dalam bahasa Inggris.
Lingkungan di Amsterdam overall cukup bersih, tak ada sampah yang tidak pada tempatnya kecuali puntung rokok! Apalagi di taman, kalau sepintas mungkin tak terlihat. Tapi kalau diperhatikan, banyak puntung rokok yang tergeletak di tanah.
Saya juga sempat pergi ke Keukenhoff garden. Well, lebih tepatnya hanya ke Lisse, tidak masuk ke Keukenhoff Garden-nya. Mengapa? Pertama : trip saya ini betul-betul on budget. Kedua : seorang kawan di hostel tak terlalu menyarakan untuk masuk, karena belum mekar full bunga tulipnya. “Lebih baik lihat kebon punya warga aja di sekitar Keukenhoff,” sarannya.
Saya pun mengiyakan saran tersebut dan betul saja. Kebun yang diluar ini juga sama-sama indah, lebih natural, dan tentunya tak ada turis lainnya kecuali saya dan beberapa orang yang berhenti dari mobil untuk sekedar berfoto.
Oh iya, kalau kamu berencana ke Keukenhoff dan ingin membeli Amsterdam Travel Ticket (semacam day pass public transport), belilah yang Amsterdam & Region Travel Ticket. Jangan yang cuma Amsterdam Travel Ticket saja, karena Lisse sudah di luar kota Amsterdam.
Hari ketiga di Amsterdam, saya mencoba mengunjungi Zaanse Schan. Desa wisata yang masih menyimpan kincir-kincir angin belanda klasik. Tapi sayang waktu saya kesana tempat ini sangat ramai sekali dan terlalu touristy. Kalau sama pacar mungkin asik-asik saja, tapi karena trip ini bareng sama mamang-mamang, ya gimana atuh. #dilemparkamera
Tempat unik lainnya yang saya kunjungi adalah….Red light District. The most organized prostitute place in the world, kalau saya boleh bilang. Tempatnya tidak ‘horor’ seperti yang saya bayangkan. Tak jauh bedanya dengan ruko-ruko di sebelahnya. Membaur bersama museum, toko pastry, hingga cafe-cafe. Tak ada sekat yang berarti. Namun bedanya kalau toko pastry menjual roti-roti di etalase, distrik lampu merah ini etalasenya agak besar dan menampilkan..you know what lah ya.
Saya bahkan menyaksikan seorang pria sedang menawar harga untuk ‘jasa’ ke wanita di dalam ‘etalase’. Pekerja lokalisasi disini terdaftar dan membayar pajak ke pemerintah. Mereka pun harus menjalani test rutin khusus untuk kesehatannya.
Ya, begitulah disana. Silakan menghela nafas masing-masing hehe.
Di sini juga terdapat banyak toko mainan dewasa dan pernak-perniknya. Juga ada beberapa ‘live show’ yang saya tak berani untuk menontonnya. Takut khilaf, gak punya budget untuk nganu masalahnya. #eh
Saya diundang Jelte, seorang kawan saya asal Amsterdam yang saya kenal waktu trip di Pulau Komodo untuk makan malam dirumahnya. Rejeki blogger soleh. Saya dihidangkan sepiring….saya lupa namanya, tapi ini adalah masakan khas belanda. Makanannya berupa sosis besar yang juicy dan bola daging renyah ditambah kentang yang di mashed bersama sayuran. (Hey Jelte if you read this plis mention the food name in the comment haha!)
Malam itu saya berjalan bersama-sama di sekitar Amsterdam timur. Melewati kanal-kanal dan jembatan bernama Magaere Brug. Atau nama englishnya Skinny bridge. Kalau kamu pernah ke Pelabuhan Sunda Kelapa, jembatan yang serupa masih bertengger disana. Oleh-oleh dari Belanda zaman dahulu.
Thanks for reading!
Pssssst…Jangan lupa nonton vlognya dibawah ini ya!
[embedyt] http://www.youtube.com/watch?v=hWvk–mpSz8[/embedyt]
—
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')