Entah bagaimana saya bisa mengiyakan ajakan Firsta ketika ia mengajak saya untuk menaiki puncak tertinggi pulau dewata itu. Tanpa sadar, tiba-tiba saya sudah melaju di atas motor sewaan dari homestay saya di Sanur menuju Pura besakih, salah satu titik awal pendakian Gunung Agung.
Jalur pura besakih digunakan jika ingin naik ke Puncak Gunung Agung 3142 mdpl. Sedangkan jalur satu lagi yang waktu pendakiannya lebih singkat adalah jalur Pura Pasar Agung, namun hanya akan sampai di bibir kawah.
Kami akan naik tek-tok. Alias tidak buka tenda, tanpa menginap. Sampai puncak, kami akan turun langsung turun kembali.
Hal gilanya, kami akan naik jam dua belas malam, dan sampai di puncak saat sunrise. Sebetulnya biasa saja, seperti trek terakhir gunung semeru ataupun rinjani. Namun, saya menaiki kedua gunung itu sudah 2-3 tahun lalu. Sekitar 10 kilogram yang lalu. Setelah itu saya jarang naik ‘gunung betulan’. Entah saya kuat atau tidak, saya pun memulai langkah pertama dengan bismillah.
Senter saya nyalakan. Kami mulai melangkah langsung masuk ke hutan. Bertiga, plus satu orang guide. Mendaki di gunung agung harus menggunakan pemandu. Tarifnya sekitar 300 ribu per orang. Biasanya sudah termasuk sarapan, senter, dan trekking pole.
Buat kamu yang ingin kesini, saya kasih tahu dulu : TANJAKANNYA GAK PAKE AMPUN. Duh, sampai pakai caps lock. Tapi bener deh. Bisa dibilang 95% tanpa ada jalur landai.
Saya kepayahan. Tanda harus sudah diet. Firsta mungkin kesal harus menunggu saya. Apalagi Nico, suaminya yang bule dan berkaki panjang ini terlihat seperti berjalan di jalan datar, padahal tanjakan tiada henti.
Ada tiga pos sebelum puncak. Tak ada tanda-tanda ataupun shelter di pos-pos ini. Namun jarak antar pos sekitar satu setengah jam hingga dua jam.
Di beberapa titik di jalur terdapat jalur yang sangat terjal sehingga dipasang tali bantuan. Saya lemas membayangkan untuk turunnya nanti.
Mendaki malam sebetulnya jauh lebih nyaman daripada mendaki siang. Karena selain tak panas, mendaki malam hari juga terasa romantis karena ditemani bintang-bintang. Kalau kamu punya teman yang bisa melihat lebih, lebih baik peringatkan dia supaya tak memberi tahu macam-macam. Karena malam romantis bisa saja berubah menjadi malam horor. Hihi, bercanda.
Entah berapa kali saya berhenti dan berjalan kembali, sekitar pukul tiga pagi kami berhenti di permulaan jalur berpasir dan berbatu dengan dinding yang cukup tinggi untuk menahan angin. Vegetasi sudah mulai berubah. Kami duduk, memulai api unggun, dan membuat kopi panas. Disini kami beristirahat sejenak. Beberapa orang nampak sedang tertidur mengisi tenaga untuk persiapan summit attack.
Pemandu kami nampak tertidur pulas tak lama setelah ia membuatkan kami minuman hangat. Ia hampir tiap hari mendaki gunung agung di malam hari, jadi pasti sangatlah lelah. Pekerjaan yang sangat berat. Tapi nampaknya ia sudah sangat terbiasa. Walaupun badannya kecil, ia punya stamina yang luar biasa.
Saya mencoba istirahat. Namun udara terlalu dingin untuk membuat saya terlelap. Perlahan langit hitam pun berubah jadi biru pekat, tanda kami harus segera melanjutkan pendakian ke puncak.
Saat matahari muncul, barulah sadar kami bahwa jalur gunung agung ini sangat kecil dan kiri-kanannya terdapat jurang. Jalur ke puncak betul-betul batu. Kalau kita terjatuh pasti langsung END. Langkah saya makin lunglai, tapi udara subuh yang sejuk membuat saya tetap bersemangat.
Beberapa kali saya bilang ke Firsta, mungkin ia sampai kesal, “Ini nanti turunnya gimana yah beb? Naiknya aja terjal begini HAHAHA.”
Ia cuma bilang dengan tenang,”udah, gak usah dipikirin.” Kadang sambil kesal juga, “UDAH, GA USAH DIPIKIRIN!!”
Saya cuma bisa tertawa sambil meringis.
Tak lama saya sampai di puncak bertepatan dengan matahari yang muncul dari horizon. Ada tiga puncak yang akan kita lewati. Foto di atas adalah foto di puncak kedua. Sedangkan yang dibawah ini adalah foto puncak ketiga dari puncak kedua.
Selagi yang lain berjalan ke puncak ketiga, saya memilih untuk istirahat dan sarapan sendiri di puncak kedua. Menikmati momen-momen di puncak sambil melihat pesisir Bali dari titik tertinggi pulau dewata ini.
Sambil memikirkan bagaimana cara turun dengan selamat sampai di pura besakih kembali….
Total perjalanan ke puncak memakan waktu sekitar 6 jam. Nah, menurut logika turun pasti lebih cepat kan? Tapi, dengan kondisi yang belum tidur semalaman dan dengkul yang sudah bergetar sendiri, ternyata memakan waktu hingga 8 jam.
Jalur yang semalam kami lewati hanya dengan senter, sekarang terlihat jelas. Rasanya pengen meluncur saja sampai di bawah.
Anyway, saya berfikir naik gunung ini lebih menantang daripada gunung semeru maupun rinjani. Kalau naik kedua gunung itu seperti marathon, naik gunung agung ini lebih mirip lari sprint yang butuh tenaga ekstra dengan konstan.
Sesampainya dibawah, saya bersumpah tidak akan pernah naik gunung lagi.
Tapi, itulah yang saya selalu pikirkan setiap habis turun gunung. Dan, sialnya, bukan; untungnya, saya selalu saja rindu dan ingin kembali ke ketinggian!
Salam dahsyat!
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')