“Kalau pesan Soto Banjar harus pakai ketupat,” kata seorang pelayan di Soto Banjar Bang Amat, salah satu tempat kuliner ternama di Banjarmasin.
“Kalau saya pesan soto saja pakai nasi bisa mas?” tanya saya penasaran.
“Bisa, mas. Tapi itu jadinya Sop. Bukan Soto,” ujarnya lagi.
Entah mengapa bisa begitu. Padahal Soto dan Sop ini ternyata sama saja. Tapi jadi berbeda nama ketika kamu memilih karbohidrat yang berbeda. Semangkuk Soto Banjar berisi bihun, irisan telur ayam bebek, daging ayam kampung, perkedel, kemudian disiram kuah kaldu yang sangat gurih. Apalagi ditemani suasana semilir anak Sungai Barito di samping resto ini.

Sebetulnya tujuan saya adalah Balikpapan, namun saya singgah sebentar di Banjarmasin untuk bertemu Mas Muhammad Aripin, seorang pendiri Yayasan Rumah Kreatif dan Pintar yang saat ini membina anak-anak jalanan untuk menjadi wirausaha kreatif. Ia adalah pemenang SATU Indonesia Awards 2016 dari Astra di bidang kewirausahaan.
Setelah tak sanggup menghabiskan seporsi Soto Banjar, karena porsinya yang terlalu banyak, saya langsung mengarahkan mobil ke Menara Pandang Banjarmasin. Gedung empat lantai di pinggir Sungai Martapura yang punya dua menara di kanan-kirinya ini sangat bagus untuk melihat aktivitas kota Banjarmasin dari atas. Sekilas saya melihat kota Banjarmasin cukup padat penduduknya dibanding kota lain. Namun pembangunannya cukup jauh tertinggal dengan kota lain di Kalimantan, misalnya Balikpapan.
Di sini saya bertemu dengan Mas Aripin. Ternyata beliau sedang mengadakan pelatihan membuat produk dengan pesertanya adalah ibu-ibu dari Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Ada yang membuat topi dayak, hiasan perahu, dan berbagai macam barang lainnya. Selain saat ini membimbing dan membina 85 anak jalanan, ternyata Mas Aripin juga melakukan pelatihan ke berbagai komunitas.

“Anak-anak ini ada yang bekas pemakai narkoba, keluarga broken home, atau pernah melakukan tindak pidana. Pokoknya anak di jalanan yang mau kami bimbing di yayasan ini,” jelas Mas Aripin.
Jadi anak-anak ini dibina secara penuh oleh Yayasan, mereka diharuskan untuk tetap bersekolah hingga S1. Tentu saja dengan biaya dari hasil keringat mereka sendiri, bukan dari sumbangan pihak lain.
Setelah ia selesai dengan pelatihan bersama ibu-ibu tersebut, Mas Aripin mengajak kami untuk melihat hasil karya anak-anak didiknya di gedung Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) yang letaknya hanya di sebelah Menara Pandang.
Gedung Dekranas ini memang ditujukan untuk mengumpulkan dan mengembangkan produk kerajinan yang pelaku bisnisnya adalah kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Yayasan Rumah Kreatif dan Pintar adalah salah satunya. Selain di sini, produk mereka yang berupa kerajinan juga dijual di toko sentral oleh-oleh seperti Kindaiku. Beberapa baju, jaket, dan pernak-pernik seni lain dari produk UMKM bisa dilihat di sini.
“Waktu ke Jakarta untuk acara INACRAFT, saya mampir ke Tanah Abang dan membeli banyak jaket-jaket polos ini. Kemudian saya kasih ke anak-anak untuk modifikasi dengan kain sasirangan. Jadilah produk baru,” pungkas Aripin.
Setelah itu kami bergegas menuju Lembaga Permasayarakatan (LAPAS) kelas 2 Banjarmasin untuk melihat kegiatan Mas Aripin yang lain. Mendengar kata LAPAS, saya bergidik ngeri. Saya belum pernah sekali pun masuk ke area jeruji besi tempat para tahanan pidana. Saya merasa sedikit takut, membayangkan apa yang akan mereka lakukan kepada saya.

Kegiatan Aripin di Lapas sama dengan kegiatan yang kami temui tadi di Menara Pandang. Bedanya adalah pesertanya. Yang tadi adalah ibu-ibu, yang ini adalah warga LAPAS.
“Kalau tahanan yang sudah berbaju biru itu artinya sudah berkelakuan baik, beberapa ada yang sudah boleh ada di area luar,” jelas mas Aripin.
Saya mencoba berbincang dengan seorang tahanan yang sudah berbaju biru. Ia nampak sedang bekerja dengan mesin jahit. Menjahit sendal yang dibalut motif kain Sasirangan.
“Ini buat sandal dalam rumah saja, sangat ringan dan empuk,” kata Pak Hasan menjelaskan produknya sambil tersenyum.

Yayasan Rumah Kreatif dan Pintar selain juga membantu anak-anak, juga membantu Lapas untuk melatih warganya agar waktu nanti ketika mereka sudah habis masa tahanannya, mereka bisa berwirausaha. Mereka dilatih untuk membuat produk, memasarkan produk, hingga mengatur keuangan.
Ternyata tempat tahanan ini tak seseram yang saya bayangkan. Sampai saya melihat tahanan berompi oranye yang berbaris rapi di pintu keluar.
“Itu tahanan baru, lagi nunggu keputusan pengadilan,” kata seorang petugas lapas yang mengantar saya. Saya langsung bergegas mencari pintu keluar.
Setelah lega keluar dari Lapas, saya menuju ‘anak bimbing’ Aripin yang lain. Kali ini adalah ibu-ibu rumah tangga. Ada papan nama kecil di pintu gerbang kampung ini. Namanya ‘Kampung Handycraft Pasca Sasirangan’. Kampung ini memang mengkhususkan diri untuk membuat segala macam kerajinan tangan yang berbasis kain Sasirangan khas Banjar. Para pekerja di sini adalah ibu-ibu rumah tangga.

“Jadi ada beberapa kampung yang jadi produsen kerajinan tangan ini. Kalau ada yang order, nanti saya bisa kasih tahu koordinator masing-masing kampung untuk membuat sekian pesanan,” jelas Mas Aripin.
Melihat keseharian Mas Aripin yang dengan gigih menjadi seorang social entrepreneur, saya melihat Indonesia di masa depan masih punya harapan. Masih banyak orang-orang baik yang sangat ingin memajukan bangsanya. Menuai jiwa wirausaha pada diri puluhan anak terlantar dan ribuan orang lainnya di Banjarmasin memang tak mudah, tapi seiring waktu ini akan meningkatkan taraf ekonomi Banjarmasin yang masih tertinggal dengan kota-kota lainnya di Kalimantan.
***
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')