Tumis brokoli dengan bawang putih ini terasa begitu renyah. Di atas nasi hangat ini, saya juga menambahkan potongan telur dadar dan sambal teri.
“Ini brokoli dan kembang kol memang hasil tani desa ini,” kata pak Kades, saat saya menumpang sarapan pagi di rumahnya.
Lalu, sarapan saya tutup dengan secangkir kopi yang juga merupakan hasil perkebunan desa. Dingin di desa yang terletak kaki Gunung Kaba ini seketika sirna.
Saya selalu senang #DatangKeDesa. Apalagi kalau punya kesempatan untuk tinggal di rumah warga. Seperti yang baru saja saya lakukan di Desa Sumber Urip, Provinsi Bengkulu ini beberapa waktu silam.
Desa yang berada di Kabupaten Rejang Lebong, provinsi Bengkulu ini memang belum menyandang titel resmi sebagai Desa Wisata. Namun dua hari saya berada di sana, rasanya pemerintah daerah perlu betul-betul menggarap serius potensi wisata Desa ini.
Buat kami para millenial yang lahir tahun 80-90an dan hidup di perkotaan, desa wisata terasa sangat menyenangkan karena menawarkan pengalaman yang sangat berbeda dengan rutinitas kota.
Di berbagai provinsi, desa wisata sudah menjadi destinasi yang diperhitungkan. Seperti Desa Penglipuran di Bali atau Desa Senaru di Lombok.
Ada apa saja di Desa Sumber urip ini?
Karena lokasinya yang ada di kaki Gunung Kaba, tanah desa terbilang subur. Gunung berapi aktif dengan ketinggian 1.952 meter di atas permukaan laut ini punya panorama kawah yang betul-betul cantik.
Ada dua jalur pendakian di Gunung Kaba. Jalur pertama hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki selama dua jam. Jalur satunya sebagian sudah di aspal, walaupun banyak yang rusak, sehingga kita bisa naik ojek ke atas dengan waktu tempuh kurang dari setengah jam saja.
Gunung ini baru dikelola secara profesional oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Urip Jaya semenjak Januari 2017. Gunung ini punya nama resmi Taman Wisata Alam Bukit Kaba. Mereka juga bekerja sama dengan BKSDA Propinsi Bengkulu dan Karang Taruna setempat.
Dari modal awal sebesar 41 juta yang diambil dari dana desa, BUMDes bisa melakukan pengembangan pariwisata Bukit Kaba ini. Pelatihan seperti manajemen pariwisata, bahasa inggris, dan pelatihan pengembangan lainnya juga bisa digunakan
“Alhamdullilah, masyarakat terutama anak-anak muda jadi punya penghasilan tambahan karena ikut mengelola pariwisata,” ujar Yadi Sutanto, kepala desa Sumber Urip yang sudah menjabat dua periode ini.
Dari tiket masuk Bukit Kaba seharga Rp. 6.500, setengahnya digunakan untuk menggaji pemuda desa yang menjaga pos pendakian 24 jam secara bergantian. Wisatawan yang mengunjungi Gunung Kaba memang kebanyakan domestik. Dari kota Bengkulu, Palembang, dan Jambi. Terutama para komunitas pecinta alam.
“Tapi kadang wisatawan mancanegara, biasanya dari Jerman juga datang mas,” kata Rizky Johan, pemuda Karang Taruna yang saya temui di pos pendakian Bukit Kaba.
Saya pun penasaran untuk naik ke atas. Karena sudah terlalu sore, saya memilih untuk naik ojek. Ongkosnya sekitar 100 ribu rupiah untuk pulang pergi.
Motor ojek Bukit Kaba ini bukan motor biasa. Modelnya adalah motorcross yang memang digunakan untuk medan off road. Namun motor bebek reguler juga ada. Tentunya sudah dimodifikasi ban dan suspensinya untuk bisa jalan di medan berat ini.
Treknya tidak main-main. Jalanan sempit dengan tanjakan nyaris 45 derajat kami lewati. Kadang kaki saya tersangkut pepohonan saking lebatnya hutan. Beberapa kali saya harus turun dari motor karena tanjakan terlalu bahaya untuk dilewati berboncengan.
Sekitar setengah jam perjalanan motor yang membuat tangan pegal, saya sampai di pos terakhir. Dari sini saya harus menaiki anak tangga sekitar 307 buah untuk sampai ke bibir kawah.
Beberapa kawan saya seperti mas Barry dan mas Fahmi nampaknya sudah kelelahan. Tak heran kalau dilihat dari lingkar pinggangnya. Ups.
Dari puncak Gunung Kaba ini, penatapannya memang sungguh menawan. Saya kurang tahu berapa kilometer diameter kawah ini. Tapi sangat terlihat luas dan warna-warninya tidak monoton abu-abu saja seperti kawah pada umumnya. Masih ada sedikit vegetasi di bagian bawah pinggir kawah. Cantik sekali.
Mungkin kalau saya datang saat matahari sedang terbit, ini bakal jadi salah satu foto yang saya post di instagram dan mendulang banyak like. Tapi sayang, di pagi hari itu kabut dan hujan sedang turun.
Tak jauh dari Bukit Kaba, desa Sumber Urip juga punya sebuah ‘onsen’ alias pemandian air panas. Namanya Grojokan Sewu. Terasa bahasa Jawa sekali ya? Padahal desa ini ada di Bengkulu.
Tak perlu heran, karena kebanyakan warga desa Sumber Urip adalah transmigran dari Jawa! Bahasa sehari-hari di desa ini? Bahasa Jawa tentunya! Beberapa kawan saya yang ikut seperti mas Bajindul nampak langsung seperti berada di pedalaman Jawa Tengah. Padahal kami sedang di Bengkulu.
Tempat yang baru dibuka pada lebaran 2018 lalu ini memang hanya punya sekitar 500 pengunjung per bulan. Namun pada hari libur, misalnya pada 17 agustus. Pengunjung bisa mencapai 5000 per hari!
Tempatnya cantik berupa sungai bertingkat yang berada di bawah lembahan. Beberapa pipa dialirkan ke beberapa titik kolam buatan dan dibuat seperti air terjun. Berendam di sini langsung hilang sudah rasa pegal-pegal setelah seharian bermain di Desa.
Di desa Sumber Urip ini juga banyak sekali terdapat tanaman hias.Saya sih cuma berharap, tidak akan ada tempat foto-foto buatan ‘instagram-able’ yang akan menghiasi tempat ini. Karena menurut saya pribadi, spot-spot foto buatan seperti itu justru mengurangi nilai alami dari tempat ini.
Kami juga sempat mengunjungi beberapa kebun cabai dan petani madu di desa ini. Yang mana kedua produk itu adalah salah satu sumber pendapatan utama desa.
Saya kadang agak sulit membedakan madu asli dan madu yang sudah campuran. Ada yang bilang bahwa kalau madu yang asli tidak akan dikerubungi semut, tapi ternyata tidak sepenuhnya benar.
“Biasanya kalau ada busanya, madu itu murni dan masih segar,” kata Dedi Susanto, petani lebah yang saya temui.
Saya langsung disuruh mencoba madu langsung dari sarangnya. Rasanya segar betul. Manis tapi tidak terasa buatan sama sekali. Paling tidak, saya sekarang sudah bisa membedakan mana madu asli, mana madu yang sudah ditambahkan gula.
Saya membeli sekitar 330 ml madu yang diisi ke botol air minum kemasan. Ternyata betul sangat berat dibanding air biasa! Para petani di sini juga sering mendapat banyak pelatihan dari ahli agar bisa tetap menjaga kualitasnya berkat dana desa.
Desa Kota Bani
Desa Kota Bani, desa satu lagi yang kami kunjungi juga memanfaatkan dana desa dengan sangat baik. Desa ini bahkan menduduki peringkat nomor 6 dari 100 desa terbaik dalam Indeks Desa Membangun.
Pemanfaatan dana desa memang digunakan untuk membantu pembangunan dari bawah. Desa Kota Bani menggunakannya untuk membangun jalan rabat beton ke dalam kebun sehingga mempercepat proses pengiriman hasil panen pertanian, merenovasi bangunan PAUD, membantu nelayan mempercanggih alat tangkapnya, dan berbagai macam penyuluhan dan pelatihan ke masyarakat.
Dana desa membantu menunjang aktivitas ekonomi warga desa Kota Bani, sehingga tak heran angka kemiskinan turun di desa Kota Bani. Pada tahun 2015, ada 120 kepala keluarga pra sejahtera di desa ini. Angka ini terus menurun hingga pada tahun 2018 ini, tinggal 63 kepala keluarga pra sejahtera. Hebat ya?
Desa Kota Bani ini juga semakin mandiri dan sejahtera karena sudah memiliki sumber pemasukan yang besar. Yaitu dari hasi pengelolaan kebun kelapa sawit desa seluas 14 hektar. Dari Kebun desa ini, tahun lalu, desa sudah bisa mendapat pemasukan sebesar Rp. 245 juta dan di tahun ini per September 2018, sudah berhasil memberi pemasukan sebesar Rp. 135 juta untuk kas desa.
Pendapatan ini digunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa Kota Bani.
Dengan adanya dana desa ini, saya juga berharap nantinya perekonomian desa bisa maju, semua desa bisa jadi mandiri, dan tidak ada lagi daerah yang kita sebut sebagai desa tertinggal.
Jadi, kapan kamu #DatangKeDesa ? Karena semuanya pasti berawal #MulaiDariDesa!
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')