
Dari awal Camp David, pos pertama papandayan, kami disambut kepulan asap berbau belerang dan trek berbatu. Sesekali penambang belerang lewat dengan motor bebek yang disulap menjadi motorcross membuat kami iri, berharap diberi tumpangan sampai ke puncak.
Gunung Api di garut ini sudah terkenal dengan padang bunga abadinya yang memanjakan mata. Dengan jalur yang tak terlalu sulit dan relatif pendek ( 2 jam sampai ke pondok saladah, 1 jam lagi untuk sampai tegal alun ), Papandayan selalu direkomendasikan untuk orang yang pertama kali naik gunung.
Namun, saya melihat gunung setinggi 2665 meter ini sudah menjadi sebuah bumi perkemahan. Sudah ada toilet, mushola, dan air yang terus mengalir di pondok Saladah. Terlihat antrian para perempuan dominan di toilet tersebut, sementara kaum adam lebih memilih di balik semak-semak — tentu tanpa antrian.
Pondok saladah sangat ramai pada akhir pekan. Bahkan, beberapa orang sedang bernyayi dengan gitar yang dibawanya. Saya sih, mending bawa beras daripada bawa gitar.
Beruntung, area Tegal Alun, terlihat sangat bersih. Tak ada tisu-tisu basah nakal bercorak kuning yang terlihat. Karena di area padang edeilweiss sejauh mata memandang ini memang banyak sekali babi hutan, pun anginnya yang sangat kencang. Maka dari itu pengelola melarang untuk mendirikan tenda disini.
Anyway, saya sudah jatuh cinta dengan bunga-bunga abadi di Papandayan, dan akan selalu kembali kesini lagi. Saya msih ingin mengambil milky way dari hutan mati. Itu pasti kece abis.
Would you like to go with me? :)




















Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')