Lupakan riuh Bangkok sejenak. Arahkan kakimu dua ratus kilometer ke tenggara hingga menuju pesisir. Adalah desa Prasae, sebuah desa nelayan di provinsi Rayong — sebuah provinsi yang langsung berbatasan dengan Teluk Thailand –, yang akan kami kunjungi saat itu. Desa ini adalah antitesis dari Bangkok: tak ada suara bising, waktu terasa berjalan lambat, dan yang paling penting : tak ada turis lain kecuali kami.
Kami menggunakan mobil sewaan untuk menuju kesana, melewati jalan tol Sukhvumit road kurang lebih tiga hingga empat jam untuk sampai disana. Memasuki provinsi Rayong pada siang hari, kami sempat berhenti di sebuah resort di tengah hutan yang lumayan lebat.
Tamnanpar Resort, terletak di dalam hutan yang ternyata hutan buatan yang sangat teduh, ada kolam-kolam berisi ikan koi besar berwarna-warni, hingga air terjun yang membuat suara-suara gemercik air yang merdu.
Setelah berjalan zig-zag melewati jalan setapak di pinggir kolam kami pun sampai di restoran yang didominasi kayu dan batu. Di tengah-tengahnya ada semacam spray air untuk mengesankan seperti di dalam hutan hujan yang basah.
Jangan tanya makanannya. Makanan thailand tak pernah salah. Entah itu di pinggir jalan ataupun di restoran yang sangat kece seperti ini. Ada kaki kepiting rebus, cap cay, udang bakar raksasa, bebek panggang madu, salad saus thailand, ayam bumbu rempah, dan segala macam yang saya tak tahu namanya. Maknyus!
Setelah perut hampir tak bisa lagi menampung makanan, kami pun beranjak dari tamnanpar dan menuju ke Songsalueng natural agriculturan centre. Kalau kamu pernah main game ‘harvest moon’, tempat ini sangat tak jauh berbeda dengan game tersebut. Sebuah pertanian dan peternakan yang sangat memaksimalkan potensi alam yang natural. Semuanya terhubung satu sama lain. Singkat kata, tak ada yang dibuang.
Somsak Khruewan, pemilik lahan ini sendiri yang mengajak kami berkeliling pertaniannya. Mulai dari ikan lele, bebek, babi, ayam, hingga beberapa perkebunan yang pupuknya berasal dari hewan-hewan miliknya. Pak Somsak ini lucu sekali ketika menjelaskan, walaupun dengan bahasa thailand sih. Tapi dari ekspresinya saya menangkap dedikasi yang sangat tinggi untuk melaksanakan salah satu Royal Project dari pemeritah thailand ini.
“Saya sudah 26 tahun melakukan ini untuk komunitas sekitar sini agar bisa mandiri,” katanya mantap.
The Golden Mangrove
Memasuki desa Prasae, kami disambut oleh segorombolan Saleng — sebutan becak motor khas Rayong — untuk langsung menuju Tung Prong Thong, sebuah kawasan hutan mangrove di Taman Nasional Khao Laem Yai yang luasnya hingga 2400 hektar di sepanjang pesisir Prasae. Di tengah-tengahnya terdapat jembatan kayu yang membelah mangrove sehingga ada jalan untuk para wisatawan masuk.
Di salah satu sisi hutan, ada bagian dengan jenis mangrove yang sangat pendek, dan berdaun hijau keemasan. Ketika terkena sinar matahari, daun-daun mangrove ini akan memantulkan cahaya matahari sehingga warna emas akan terpantul jelas!
Kami menyusuri jembatan kayu di dalam hutan yang lebat beberapa puluh meter. Tak lama kemudian hutan yang lebat seketika berubah menjadi area terbuka. Jembatan kecil yang lebarnya hanya satu meter pun berubah menjadi panggung kayu sebesar dua kali lapangan bulutangkis untuk menikmati hamparan golden mangrove ini.
Sayangnya, hari itu hujan.
Akhirnya kami sepakat untuk kembali keesokan pagi kesini. Beruntung, langit cerah pagi itu :)
Perjalanan dilanjutkan kembali dengan Saleng. Saya menumpang Saleng kepunaan Paman Phi la. Seorang nelayan yang sehari-hari juga mengantar turis dengan becak motor ini.
“Saya pernah ke Indonesia, naik kapal saya dan masuk lewat Batam. Di Indonesia banyak sekali sepeda motor, ya?” katanya.
Saya cuma tertawa :))
BAAN CHANSAMUT HOMESTAY, makan malam di atas kapal
Kami menginap disini homestay ini. Dari luar memang terlihat sederhana, tapi ketika masuk kedalam ternyata homestaynya cukup luas. Ruang tengah homestay ini adalah dermaga, langsung di pinggir sungai sehingga kapal langsung bisa merapat persis di depan homestay. Karena saya masuk paling akhir, saya dapat kamar sisa dengan 10 buah tempat tidur haha. Namun, saya lihat setiap kamar punya AC dan sangat bersih. Tak ada hotel disini, dan kabarnya sih ini adalah salah satu homestay yang terbaik di Prasae.
Makan malam pun dilanjutkan dengan naik ke atas kapal sambil menyaksikan sunse dan makan malam yang didominasi makanan laut yang segar. Lupaka kolesterol sejenak hehe. Sayang, sehabis hujan jadi cuaca sendu. Namun, saya sangat menikmati bau sehabis hujan. Petrichor :)
Malam pun berlanjut dengan obrolan random sepanjang malam di teras homestay. Hey, i really missed you guys!
Pagi hari di Desa Prasae
Rasanya saya bangun paling pertama. Mengunjungi tempat baru selalu membuat kita excited, bukan? Hampir setiap tempat yang saya datangi, saya pasti pergi ke pasar lokal. Entah mengapa, mungkin saya cuma senang jajan hehe. Beruntung pasar pagi di Prasae hanya beberapa ratus meter dari homestay, saya dan beberapa kawan pun berjalan kesana.
Sepanjang jalan di Desa ini rumah-rumah terlihat terbuat dari kayu. Warna cat pun kebanyakan warna yang senada dengan warna bumi. Di atas jalan terlihat kertas warna-warni untuk menghias jalanan, seperti bendera merah putih mungil yang biasa dilihat saat 17an. Beberapa bangunan tua terlihat berdiri disini. Suasananya tenang, jalanan sangat bersih, tak ada mobil melintas, hanya satu-dua sepeda motor yang melewati kami. Ini juga kali pertama saya melihat biksu yang sedang menerima makanan dari para warga, dan mereka membalasnya dengan mendoakan langsung si pemberi di tempat.
Tak lama saya betemu dengan pasar. Waktunya jajan!
Saya sangat menikmati Desa Prasae di provinsi Rayong ini. Suasananya tenang dan santai, tak banyak turis, orannya sangat ramah, dan yang paling penting makanannya enak-enak! Saya hanya menghabiskan dua hari disini, jadi ada alasan untuk kembali kesini suatu saat.
Terima kasih!
—
p.s. Terima kasih untuk Tourism Authority Thailand yang berbaik hati mengantarkan saya ke desa kecil yang cantik ini!
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')