“SAYA ini baru 132 kali naik Semeru, sekitar 100 kali-nya sampai Mahameru,” ujarnya pada kami.
Ia mulai menghisap rokok kreteknya, kemudian mulai menasehati kami, “Sudah, kalian jangan ngomong lagi sama mereka. Mereka itu calo! Mana ada jeep Ranupane sampai Bromo sampai 800 ribu?” sungutnya kesal. Habis ini kalian ke rumah saya saja, istirahat, nanti biar bapak yang urus jeep itu.”
Kami benar-benar seperti tentara yang habis perang – kulit sudah mengelupas karena terbakar matahari, berselimut baju debu, dan letih yang luar biasa sehabis menggapai Mahameru. Rencananya, setelah ini kami akan mampir juga ke Bromo. Belum nasi pecel yang kami pesan habis, sudah dihadang para ‘agen’ jeep Bromo dengan senyumnya yang misterius itu.
***
“Anggap saja rumah sendiri, itu kamar mandi disana, kalau laper masak saja di dapur,” ujar si Bapak saat kami tiba di rumahnya. Rumahnya cukup besar dan memanjang. Di samping terdapat sebuah mobil jeep modern, di belakang rumahnya ada beberapa tanaman stroberi dan kubis. “Tanaman pada mati, musim kemarau begini banyak butiran es kalau menjelang pagi. Terlalu dingin, mereka tidak kuat…,” ujarnya.
Kami ini bukan siapa-siapa, orang asing. Tapi bapak ini dengan mudahnya mempercayai kami. Sungguh keramahan yang luar biasa. Jarang kami mendapat perlakuan seperti ini di kota besar.
Bapak ini berseragam abu-abu kehijauan seperti PNS, di dadanya terdapat logo Balai Besar Taman Nasional Bromo-Tengger Semeru. Orang Batak asli, Sinabela namanya. Tapi, walaupun mukanya sangar khas batak, logatnya sangat medok Jawa. Medok, tapi tetap terdengar tegas khas batak. Ia tinggal sendiri di Ranupane, sementara istrinya tinggal di kota Lumajang.
“Orang bilang saya ini kuncen semeru,” ujar si Bapak memulai pembicaraan. “Tapi saya nggak suka, saya bukan seperti mbah marijan, ga percaya saya yang kayak begitu. Saya cuma percaya Tuhan,” lanjutnya.
“Puncak itu memang daerah rawan, banyak orang yang tersasar. Entah karena memang bingung, tapi kadang juga terasa seperti ‘dituntun’ oleh sesuatu,” kata Sinabela. “Mungkin seperti tragedi Andika itu, pak?” saya bertanya. “Mungkin, makanya kita gak boleh gegabah, apalagi merasa sombong kalau bisa sampai puncak,” lanjutnya.
“Waktu itu saya ikut tim SAR saat tragedi Andika, dan sayalah yang menemukan pertama kali. Padahal sudah disisir beberapa hari sebelumnya daerah tersebut, namun tidak ditemukan jasadnya. Tapi saya seperti diberi petunjuk oleh yang di atas,” katanya sambil menunjuk ke atas. “Tapi kalian jangan panggil saya kuncen, apalagi dukun, nanti banyak yang datang minta tiba-tiba jadi kayak hahaha,” katanya sambil tertawa, kemudian ia juga bercerita tentang beberapa orang yang minta ‘jimat’ supaya jadi kaya setelah kejadian itu.
Sinabela bukanlah PNS di Taman Nasional ini, ia hanyalah mantan Guide semeru (bukan porter) yang dipercaya menjadi salah satu pegawai kontrak di kantor basecamp Ranupane. Entah mengapa, kalau ia sedang bercerita tentang PNS, raut wajahnya berubah kesal. Ia bercerita, bahwa rekan sekantornya yang sudah PNS, sangat tidak respek sekali terhadap perkerjaannya. Konon, mereka ini sering tidak masuk kerja dan suka mempermainkan ‘anggaran’
“Mereka itu bekerja cuma untuk duit. Saya tidak, saya memang ingin mengabdi di tanah ini,” ujar pak Sinabela dengan tatapannya yang tajam.
“Kalian tahu, kalau hutan kebakaran, mereka itu malah senang,” lanjutnya. “Itu artinya ada anggaran yang akan keluar dan bisa dimainkan. Saya nggak pernah ikutan mereka, walaupun saya jadi dibenci. Malah saya pernah langsung menghajar mereka saat saya diajak seperti itu,” katanya sambil mengapalkan tangan.
Sinabela bingung. Mengapa orang-orang itu, yang sudah diangkat jadi abdi negara, yang ia lihat tiap hari sholat lima waktu, tetapi tak ubahnya seperti, …ah..
Sebuah pengabdian memang seharusnya adalah salah satu bentuk keikhlasan. Berbuat sesuatu bagi orang lain, tanpa menuntut jasa. Inilah yang saya lihat pada sosok Sinabela. Ia idealis, walaupun dengan segala resiko yang ada.
**
“Tadi ada yang izin buat syuting film ya, pak?” saya bertanya. “Oh, iya, yang film 5 cm itu. Tapi yang tadi cuma untuk adegan pemeran pengganti. Syutingnya sudah selesai satu bulan yang lalu,” ujarnya. Pantas, padahal saya sudah siap-siap untuk foto bareng mba pevita pearce, tapi penampakan makhluk halus itu tidak saya temui :p
“Waktu igor saykoji naik ke Mahameru, saya yang nemenin dia,” katanya sambil mulai tertawa. “150 kilogram naik mahameru, ia butuh 11 jam sampai di puncak dari Arcopodo,” lanjutnya.
“Tapi ia sampai puncak kan pak? Gak pake helikopter,” tanya saya. “Hahaha, iya, saya sampai ngantuk nemenin si Igor,” ujarnya sambil tertawa.
Tiba-tiba telepon Sinabela berdering. Ia mengangkat telepon, kemudian berbicara agak serius dengan seseorang. “Hutan di jalur ayek-ayek katanya terbakar, saya mau kesana dulu,” ujarnya.
“Saya mungkin tidak kembali malam ini, nanti pintunya dikunci saja, besok pagi jeep-nya datang jam 4,” ia berkata lagi. Kemudian ia bergegas menaiki motor tua-nya, meninggalkan rumahnya bersama kami. Kami bengong, bisa-bisanya bapak ini meninggalkan rumah ini dengan orang yang baru saja dikenalnya.
**
Pagi begitu dingin di Ranupane ketika ada suara klakson di luar yang membangunkan kami. Ternyata jeep sudah datang bersama pak Sinabela. Kami bergegas untuk meninggalkan Ranupane menuju Bromo.
“Hati-hati di jalan ya, jangan lupa main-main ke semeru lagi,” pak Sinabela tersenyum mengantar kami.
“Maaf pak merepotkan, kami gak bisa ngasih apa-apa sekarang,” saya berkata. Memang uang kami saat itu hanya cukup untuk ongkos balik ke Bandung saja. Tapi, saya berjanji akan mengirim sesuatu nanti untuk si bapak ‘kuncen’ ini.
“Ah, tak apa, saya biasa direpotkan kok. Lagian saya seneng kalo punya teman banyak dimana-mana,” katanya sambil tertawa.
Di pagi yang dingin itu, kami pun menembus halimun menuju ke Bromo, sambil memikirkan banyak hal dari pembicaraan semalam. Tentang hidup ini, tentang sebuah pengabdian. Saat itu kami sadar, bahwa sosok seperti itu sudah jarang sekali terlihat.
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')