“Hari ini nggak ada lagi yang sewa perahu, mas?” tanya saya kepada Mas Bayu, pemilik homestay Tamri.
“Kebetulan ini lagi musim sepi ini mas, hari ini cuma mas aja yang kesini sepertinya,” jawab Mas Bayu, pemilik homestay asal Surabaya, dengan logat Jawa yang kental.
Saya meringis. Ini berarti, sewa perahu seharga 350 ribu akan saya tanggung sendiri. Walupun agak berat, tapi karena sudah terlanjur sampai disini, saya tak punya pilihan.
….
Pagi itu matahari terik, terlihat banyak anak-anak sekolah yang mengenakan peci dan kerudung. Walaupun flores memang mayoritas katolik, di Riung saya lebih banyak melihat masjid daripada gereja.
“Disini sebagian besar muslim mas,” ujar mas Bayu lagi.
Saya tinggal di homestay Tamri selama di Riung. Homestay dengan harga 75 ribu semalam ini adalah yang termurah yang saya temui. Menurut penuturan Mas Bayu, ia dulu adalah seorang manager di sebuah bank ternama di Jakarta. Sebelum pindah juga di posisi yang sama di sebuah hotel di Labuan Bajo.
Tapi. menurutnya, walaupun uang mengalir dengan mudah, pekerjaan itu tak sesuai panggilan hatinya. Makanya ia memilih resign, dan membuka sebuah homestay di Riung ini.
Ini juga adalah salah satu impian saya nanti. Punya homestay keceh di tepi pantai!
….
Riung adalah salah satu kota kecil di kabupaten Ngada, Flores. Terletak di pesisir utara, butuh sekitar 3-4 jam dengan kendaraan umum dari Bajawa.
Bang Halim adalah seorang supir bis bernama Gemini, bis yang saya tumpangi dari Bajawa menuju Riung. Jadwal Bang halim tiap pagi adalah berangkat dari Riung menuju Bajawa, dan pada siang harinya lagi kembali ke Riung.
Di Flores, saya lebih senang menggunakan bis umum daripada ‘travel’. Selain lebih murah, kita jadi bisa lebih leluasa mengobrol dengan orang-orang termasuk bapak supirnya. Lagipula, bis di Flores ini nggak penuh-penuh amat kok. Bahkan jauh lebih manusiawi daripada mobil kecil ‘travel’, yang seringkali melebihi kapasitasnya – dengan harga yang lebih mahal, dan waktu tempuh yang sebetulnya tak terlalu berbeda jauh.
Saya mendapat kontak bang Halim dari si kak Mumun Indohoy dan Vindhya, sebelum kami berpisah di Labuan Bajo. Tak heran mereka merekomendasikan bang halim ini. Orangnya lucu dan jenaka, saya menjadi tak bosan selama perjalanan.
Seusai sholat jumat di masjid Bajawa, saya dijemput oleh bang Halim di depan penginapan. Begitulah bis disini, kita bisa pesan dan bis akan menjemput kita. Semacam travel. Saya sudah memesan kursi paling depan agar bisa puas memotret sepanjang perjalanan.
“Heyy om pindah sana ke belakang, mas ini sudah pesan buat duduk depan sini!” teriaknya kepada seseorang yang sudah menempati kursi pesanan saya. Om itu tak marah, malah langsung pindah tempat duduk dan memepersilakan saya duduk di depan.
Perjalanan Riung-Bajawa sebetulnya tak perlu mencapai 3-4 jam jika jalanan bagus. Namun, jalur ini memang jalur paling jelek dibandingkan jalur-jalur antar kota flores yang lain. Tapi percaya sama saya, roadtrip di flores itu manjain mata banget! Kok saya merasa seperti di California ya? Soalnya lembah-lembah yang kita lewati itu punya warna-warni mirip auntumn disana!
Riung adalah kota kecil. Bahkan tak terlihat seperti kota, lebih mirip sebuah komplek perumahan menurut saya malah. Tak banyak aktifitas yang terlihat disini kecuali di pasar.
Dari pelabuhan, terlihat pulau-pulau kecil yang menjadi Taman Laut Riung 17 pulau. Menurut penuturan kapten kapal saya, jumlah pulau di Riung lebih dari 20 buah. Tapi, entah kenapa pemerintah menamakannya menjadi 17 pulau.
“Biar sama dengan hari merdeka 17 Agustus mas,” katanya lagi.
Kapal kami perlahan meninggallkan pelabuhan, pagi itu laut tanpa gelombang. Saya langsung mengarahkan kapal ke pulau Tiga. Tempat snorkling yang menjadi primadona Riung 17 pulau ini. Pemandangan bukit kuning kecoklatan gersang terlihat kontras dan berkomplemen dengan warna laut biru toska ini sangat keceh sekali. Saya nggak pandai mendeskripsikannya, jadi lihat fotonya saja ya hehe.
Saya langung mengenakan rashguard agar kulit saya tak bertambah eksotis. Masker dan snorkel saya kenakan, dan mulai mengayuhkan kaki katak pelan-pelan. Mungkin musimnya sedang tak bagus, air pasang dan agak keruh. Saya tak bisa melihat terlalu jelas dari permukaan karena visibility kurang baik. Mungkin visibility kurang dari lima meter.
Saat melakukan duckdive ke dalam air sekitar 5-7 meter, barulah saya bisa melihat jelas hardcoral berwarni-warni! Warnanya aneh. Saya baru pertama kali melihat hardcoral dengan warna biru, kuning, dan hijau dengan saturasi yang pekat. Beberapa ikan yang schooling juga tiba-tiba menhampiri saya, walaupun hanya ikan-ikan kecil.
Pulau-pulau disini memang indah sekali, tapi…
Saya sendiri.
Baru kali ini saya solo traveling merasakan sepi. Mungkin saya sedang jenuh traveling dan butuh beristirahat. Atau mungkin saja sebelum ini saya terbiasa berjalan bersama banyak kawan, sehingga saya menjadi agak kaget tiba-tiba traveling sendirian
Matahari tepat di atas kepala, seharusnya saya masih mengeksplore beberapa pulau lagi. Tapi saya lebih memilih kembali siang itu, untuk mengejar bis ke kota berikutnya.
Di buku catatan, saya cuma menorehkan satu kalimat untuk Riung.
I wish you were here.
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')