Kami disambut oleh dua orang tetua kampung ini. Sang Pasandere si ketua adat suku Bajo dan Jackson si kepala desa Torosiaje. Mereka bercerita dulu desa hanya berupa soppe (perahu).
Disebut desa pun karena tempat ini biasanya adalah tempat singgah para suku Bajo, karena memang mereka adalah bangsa laut yang nomaden. Di sekitar teluk Tomini ini, mereka berpindah-pindah tempat dalam kelompok yang terdiri dari beberapa soppe.
Konon, seorang gadis puteri raja asal kerajaan Malaka hilang dengan perahu hingga ke Sulawesi.
Kemudian, sang Raja memerintahkan semua rakyatnya untuk pergi mencari anaknya yang hilang. Akhirnya mereka pun merantau ke berbagai negeri.
Mereka tak menemukan sang putri Raja. Hingga beberapa keturunan. Akhirnya, mereka-mereka inilah yang dianggap sebagai asal-usul suku Bajo. Tak heran, mereka dapat ditemui di Indonesia, Filipina, India, Jepang, bahkan kabarnya ada yang mencapai perairan Eropa.
Di Indonesia sendiri suku bajo dapat ditemui di pesisir Sulawesi hingga Flores. Bahkan salah satu pelabuhan terpenting di Flores sendiri bernama Labuan Bajo, saking banyaknya komunitas Bajo yang singgah disana.
Konon lagi, seorang haji dulu pernah tinggal di sebuah pulau yang sekarang menjadi lokasi Torosiaje. Orang bajo sering menjual ikan ke si orang yang disebut haji ini. Toro dalam bahasa bajo berarti Tanjung. Mereka menyebut sebuah tanjung yang terdapat pulau kecil tempat Pak haji tinggal ini adalah Toro si Haji. Dan, sebagaimana orang timur yang suka menyingkat kalimat, Toro si Pak haji pun menjadi Torosiaje. Entah benar atau tidak cerita rakyat ini. Tapi mungkin, warga Bajo yang memeluk muslim ini bisa saja atas pengaruh si Haji.
Saat ini Desa Torosiaje terdiri dari 368 kepala keluarga, sekitar 280 rumah dengan tiang pancang langsung ke laut, dan sekitar 1901 orang yang tinggal disini dalam dua dusun, yaitu dusun Bahari jaya dan dusun Mutira, semenjak mereka dihimbau oleh pemerintah untuk tinggal di darat.
“Kami lebih senang tinggal di laut,” kata seorang ibu yang yang saya temui di Torosiaje. Ia pernah tinggal di darat, tapi tak lama, ia kembali ke laut. Ia sudah merasa laut jadi bagian hidupnya. Ia lahir disana, dimandikan pertama kali pun dengan air laut, makannya dicukupkan dari laut. Jadi, buat apa hidup di darat?
Mungkin itu yang ada di benak mereka.
Sayang, seharusnya kami menginap disini. Namun karena beberapa kejadian di perjalanan menyebabkan kami sampai disini pada pagi hari. Semoga lain kali saya bisa kembali lagi kesini.
Salam sahabat!
Comments
5 responses to “Desa Suku Bajo Torosiaje”
yang foto “Bersama anak-anak bajo” gue ga sadar disitu ada lo wir, setelah keatas kebawah berkali2 baru keliatan disitu ada lo
ganteng kan gue, ken?
airnya ngga nahan pen nyemplung deh wir….
kapan bisa kesana yak? :D
iya jie, kalo anak-anak sini main ipad, anak-anak sana cukup main air, selam-selam cari ikan haha
[…] Terios 7 Wonders : Desa Suku Bajo Torosiaje […]