SAYA duduk sendiri di samping sebuah pohon kecil. Pohon yang menjadi saksi bisu pembuktian akan karunia Tuhan terhadap seorang anak bangsa ini. Di kejauhan, terlihat sebuah dermaga dengan kapal-kapal phinisi raksasa, ditambah latar belakang Gunung Meja yang gagah. Sesekali, suara angin pesisir yang cukup kencang membuyarkan lamunan saya.
Saya seakan mendengar pohon ini bernafas. Terkadang ia seperti mengerang, terkadang berdesis. Pada hembusan yang besar, pohon terdengar seperti menjerit. Ia hidup. Ia dihadapkan kepada sebuah sosok yang sangat saya kagumi. Saya menarik nafas dalam-dalam, dan secara sadar mengubah pola pernafasan mengikuti angin yang berdesir.

Pohon ini telah bernafas di kota kecil selatan Flores sejak zaman pemimpin pertama republik ini, ia bernafas lebih keras saat itu. Dan mestinya, ia sudah bernafas lebih lega saat ini.
Ia telah merasakan getir-getir kegigihan perjuangan sosok tersebut, sebelum berfikir untuk dapat melahirkan sebuah mahakarya Indonesia yang ditulis sosok didepannya.

Sosok itu biasa merenung di sebuah lapangan dengan pohon sukun yang besar menaunginya. Tempat ini menghadap Teluk Sawu dengan lautnya yang tenang dan dikelilingi bukit-bukit hijau menyejukkan mata dan hati.
“Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila.”
Dari perenungannya, ia menyadari bahwa semangat untuk meraih kemerdekaan tidak bisa berhenti, tetapi tak bisa lepas dari kehendak semesta.

“Revolusi kami seperti juga samudera luas adalah hasil ciptaan Tuhan. Satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu sekarang bahwa semua ciptaan yang Maha Esa termasuk diriku sendiri dan tanah airku berada dibawah aturan hukum dari yang Maha Ada…,” cetus sosok tersebut.
Tetapi, ia mengatakan bahwa apa yang ia kerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi, dengan tradisi nusantara sendiri. “Dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah,” ujarnya.

Ia juga berkata bahwa lima mutiara ini — yang menurutnya adalah satu kesatuan falsafah negeri — jika diperas sarinya berkali-kali, yang akan muncul adalah semangat gotong royong, sebuah konsep dasar yang menceritakan bersatunya bangsa ini untuk membangun nusantara.
“….Ende, kota kecil nun jauh di negeri timur… adalah satu-satunya yang dikarunia keunikan oleh Maha Pencipta dengan danau tiga warna-nya yang senantiasa kuingat akan Pancasila…” kata Bung Karno
Saya berjalan ke gerbang taman ini. Ada sebuah baliho besar bertuliskan, ” Memperingati hari lahir Pancasila, dari Ende untuk Indonesia.” Nampak sosok tersebut tersenyum memandang saya, memandang kota Ende ini, memandang Indonesia, dan memandang semesta.
Saya merasa bisa bernafas lebih tenang sekarang. Dan mudah-mudahan pohon itu pun juga bisa melakukan hal yang sama.
Semoga di masa depan nanti, kita dianugerahi pemimpin-pemimpin yang benar-benar adil untuk Indonesia tercinta ini.
Tabik
**






Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')