“Kamu beneran orang Thailand? Masa makan cabe kecil gini aja nggak sanggup?” tantang saya ke Tey, seorang gadis Thailand yang menemani saya berjalan mengeliligi Chantaboon pagi itu.
“Aku bisa tahan kalau asam, tapi kalo pedas, nggak deh,” jawabnya.
“C’monnn. Satu aja kok. Nih dimasukin ke dalam lumpia-nya nih,” saya memasukan cabe rawit itu ke dalam semacam spring roll basah. Dia pasrah. Setelah itu mukanya memerah dan mulai mengumpat saya.
Dan pagi saya pun dimulai dengan tawa sehabis mengerjai warga lokal di pasar Chantaboon yang katanya sudah berumur seratus tahun lebih ini.
**
Chantaburi, adalah provinsi di timur thailand yang saya kunjungi setelah Rayong. Hanya sekitar dua jam perjalanan menggunakan mobil dari Rayong. Saya menginap di daerah kota tua Chantaboon. Kota kecil yang cukup jarang dikunjungi oleh turis, nyaris sama seperti Rayong yang rasanya hanya kami saja turis mancanegara disana.
Kota ini punya pengaruh kebudayaan Cina, Vietnam dan Prancis, terlihat di arsitektur dan makanannya. Chantaboon punya nuansa kota pinggir sungai yang romantis, kuil-kuil kubah emas yang terhimpit diantara bangunan-bangunan tua Prancis, atau kedai Pho — mie berkuah khas Vietnam — yang berada di samping gereja katolit terbesar di Thailand.
Saya mau cerita dulu tentang penginapan saya. Namanya BAAN LUANG RAJAMAITRI HISTORY INN. Penginapan berumur 150 tahun ini serasa membawa saya ke masa lampau, terasa seperti menginap di museum. Hanya ada 12 ruangan di penginapan ini. Masing-masing ruangan punya nama yang unik dan punya sejarahnya masing-masing.
Lucunya, penginapan ini terletak di gang kecil yang mungkin jika dua mobil lewat bersamaan harus menyembunyikan spionnya saat berpapasan agar tak tabrakan. Di depan penginapan ini ada sebuah hawkers yang menjual makanan semacam pad thai (btw, tunggu postingan berikutnya, saya ikut kelas masak di bangkok hehe) dengan seorang nenek yang sibuk dengan penggorengannya.
“Serius nginep disini nih?” gumam saya.
Kembali ke pasar. Setelah jajan-jajan asik mencoba segala macem street food, tentunya ditutup dengan thai Tea, sayapun melanjutkan keliling Chantoboon.
Tak jauh dari pasar terlihat sebuah Gereja yang cukup besar. Gereja Katolik ini bernama ‘Cathedral of Immaculate conception’. Dibangun pada tahun 1906 oleh para imigran Vietnam yang hijrah ke thailand karena masalah agama di negara mereka.
Katedral terbesar di Thailand ini punya gaya Neo Gothic dan punya tinggi sekitar 20 meter. Dahulu kedua towernya pernah ‘dipotong’ saat perang antara Prancis dan Thailand di tahun 1940-an karena terlalu mencolok.
Selain megahnya gereja ini, yang paling menarik perhatian adalah patung bunda maria yang terletak di kanan altar. Patung ini dibuat dari berkilo-kilo emas dan berbagai macam batu permata berkarat tinggi — sekaligus melambangakan Chantaburi yang terkenal sebagai pusat perdagangan batu mulia.
Matahari makin meninggi. Kami masih berjalan di dekat gereja. Arsitektur rumah disini bergaya gingerbread yang biasa ditemukan di thailand tahun 1800-an. Saat kami sibuk memotret sana-sini, tiba-tiba ada seorang kakek, dari dalam pagar rumah berkayu, yang melambai-lambaikan sambil berbicara dengan bahasa thailand kepada kami. Berutung saya sedang bersama penduduk lokal. Ia mengundang kami untuk masuk ke rumahnya.
Rumah ini berstruktur kayu besi. Mulai dari lantai, dinding, hingga langit-langit. Terasa sangat kokoh dan rasanya tak akan pernah retak walau gempa sekalipun. Si kakek bercerita dengan bangganya bagaimana rumah ini sudah berdiri sejak 150 tahun yang lalu.
Puas melihat rumah kayu si Kakek, kami bergegas kembali ke hotel untuk sarapan. Namun di tengah perjalanan, Tey betemu dengan seorang wanita paruh baya tiba-tiba mengajaknya berbicara. Setelah berbincang, saya tahu bahwa wanita ini adalah pengelola Chantaboon Learning Centre, semacam museum yang menyimpan sejarah masa lalu Chantaboon dari zaman dahulu.
“Hari ini tutup, tapi dia akan membuka museum khusus untuk kita hari ini,” kata Tey. Di museum ini banyak foto-foto yang menceritakan perubahan Chantaboon dari masa ke masa, ada juga beberapa benda dari masa lalu seperti telepon dan mesin tik peninggalan Prancis.
Malam harinya, secara tak sengaja melihat upacara loi krathong yang dilaksanakan oleh penduduk tiongkok lokal saat berjalan sambil foto-foto. Di kuil dekat pasar juga saya melihat ada festival vegetarian, dimana saya juga melihatnya di Chinatown Bangkok dua hari sebelumnya.
Ratusan orang berbaju putih berdiri di pinggir sungai. Tepat di pinggir kuil bernama Wat Chan Thanaram. Masing-masing dari mereka melepaskan Loi Krathong dengan sebatang lilin di atasnya sambil memejamkan mata dan meminta sesuatu kepada yang diatas. Terlihat sangat magis.
Chantaboon adalah salah satu tempat yang bisa dibilang off beaten path-nya thailand. Memang agak jauh dari Bangkok sekitar 3-4 jam perjalanan dengan bis. Namun atmosfer kota tua-nya, perpaduan budaya Vietnam-Prancis-Thailand, makanannya, dan tentu saja senyum Tey membuat saya ingin kembali kesini suatu saat.
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')