Saya akhirnya tahu mengapa para wisatawan asing jatuh cinta ke Wae Rebo.
Padahal, biaya ke sana terbilang cukup mahal. Sudah begitu, perjalanannya yang harus trekking naik gunung selama tiga jam itu sama sekali tak mudah!
Bukan hanya karena keindahan alamnya, namun karena kehangatan orang-orang disana.
Mereka rindu akan suasana yang tidak individual. Di Waerebo, satu rumah mbaru niang – rumah berukuran kerucut dengan diameter sekitar 11 hingga 15 meter bisa diisi hingga enam buah keluarga. Dengan dapur dan tungku bersama untuk mencari hangat di tengah-tengah rumah, suasananya memang terasa sangat kekeluargaan.
Ada sebuah anekdot tentang orang Flores.
Sekali mereka tersenyum, hilang sudah neraka di wajah mereka!
Karena, walaupun wajah mereka terbilang agak ‘sangar’ bagi sebagian orang non-flores. Namun mereka sangat ramah dan mudah tersenyum. Cobalah tersenyum sedikit, mereka akan membalasnya berkali-kali lipat.
Saya pun jatuh cinta ke Waerebo. Dan juga Flores, berkali-kali.
…
Seusai sholat idul adha, saya bersama Donna – rekan perjalanan yang baru saya kenal di Labuan Bajo – langsung menuju ke Ruteng. Untuk melanjutkan perjalanan dengan Ojek ke Dintor, desa terakhir yang bisa diakses kendaraan sebelum Wae Rebo.
Ini adalah ojek termahal sepanjang sejarah saya naik ojek. 150 rebu!
Tapi, melihat perjalanannya yang selama dua jam. Dengan kondisi hujan melewati bukit terjal, masuk hutan, dan lewat pinggir pantai, pun sudah terlalu sore dan hujan. Saya agak memakluminya.
Bagian belakang saya jadi agak mati rasa setelah melewati perjalanan itu.
Di Dintor, kami menginap semalam di Wae Rebo Lodge, sebuah homestay berbentuk bungalow yang berada di tengah sawah.
Saya pikir Dintor itu sudah dataran tinggi seperti Ranupane. Ternyata, Dintor terletak di tepi pantai! Di seberang dintor, terlihat pulau yang seperti datang dari zaman purbakala. Pulau Mules namanya. Ada satu gunung yang runcing mirip seperti puncak menara gedung BNI tertinggi di Jakarta itu. What a sight.
Pak Martin, pemilik homestay yang juga orang Wae Rebo yang ‘turun gunung’, bercerita banyak tentang kampung asalnya tersebut. Pak Martin ini adalah salah satu orang yang berjasa untuk membuat kampung Wae Rebo ini menjadi salah satu destinasi pariwisata
“Kalau saja Waerebo tak menjadi destinasi wisata, mungkin para warganya sudah pada pindah kemari mas. Karena disana untuk kemana-mana susah. Harus naik turun gunung selama 5 jam untuk pulang-pergi,” ujar Martin.
Adalah Kombo, sebuah kampung pemekaran dari Waerebo. Kombo berisi warga-warga yang sudah tak muat tinggal di Waerebo, karena rumah di Wae Rebo hanya maksimal tujuh buah sesuai adat. Kombo juga berisi anak-anak yang bersekolah. Sejak kelas satu SD mereka diwajibkan hidup mandiri.
Terkadang, kalau libur, mereka pulang ke rumah orang tuanya di Waerebo. Tentu dengan berjalan kaki selama 3 jam terlebih dahulu.
***
Dari homestay, kami naik ojek selama lima menit menuju sebuah SD di Denge. Ini adalah titik terakhir yang bisa dijangkau oleh kendaraan.
Selanjutnya hanya bisa dilalui dengan melangkah.
Di denge ini juga ada satu homestay kepunyaan Pak Blasisus, yang merupakan sepupu pak Martin. Bentuknya homestay beneran seperti biasa, tak seperti punya pak Martin yang seperti resort.
“Saya diajari sama seorang arsitek bule mas, diajarin juga bule maunya seperti apa, ya akhirnya saya buat seperti ini,” ujar pak Martin.
Kami mulai berjalan dari SD denge menuju atas. Trek awal adalah jalan lebar tanah yang sepertinya akan dibuat jalan aspal. Jalur terus berganti menjadi melipir bukit, tanah longsor, dan semakin menyempit.
Di perjalanan, kami bertemu banyak warga Waerebo yang membawa banyak alang-alang.
“Di atas sedang ada renovasi satu rumah, alang-alang itu atapnya. Dianyam dulu dibawah, baru dibawa keatas,” jelas pak Sales.
Kami nampaknya sudah terbiasa dengan pendakian, sehingga tak sampai dua jam kami sampai di pos ponco roko. Tempat dimana kita bisa mencari sinyal telepon karena memang di tepi jurang dimana posisi adalah LOS (line of sight) dengan BTS terdekat. Saya saja sempat bisa check in di path.
“Dari semua tamu yang kami bawa, mas sama mba yang tercepat sampai sini dan nggak pernah istirahat di jalan,” kata Mas Sales.
Untung saja walaupun perut saya sudah membuncit, dengkul racing saya masih berfungsi dengan baik hehe.
Beberapa menit kemudian, kami melihat sebuah pos pemantau dengan atap seperti rumah mbaru niang.
Dari sana, terlihat kampung Waerebo yang berada di bawah lembahan. Sebuah dataran kecil yang diapit lembah-lembah hijau tinggi, dengan sungai yang mengalir di kiri-kanannya.
Dari penjelasan pak Sales, saya mengetahui bahwa seribu tahun yang lalu, orang Minangkabau-lah yang membuat kampung disini. Merekalah nenek moyang orang Wae Rebo.
Entah bagaimana caranya orang-orang dari dataran Andalas itu bisa sampai di Flores dan membuat Waerebo.
Kami pun turun, memasuki perkebunan yang didominasi oleh tanaman kopi hingga sampai di gerbang Wae Rebo. Puluhan orang sedang duduk dan melihat sebuah Mbaru Niang sedang dihancurkan.
Mereka semua menatap kami dengan tatapan aneh seperti melihat alien. Saya hanya membalasnya dengan tersenyum.
Mereka pun tertawa..
(bersambung dulu ahh ~ )
Bagaimana menurutmu? Silakan tinggalkan komentar dibawah ini ya! :')